Pasal 28 ayat (2) UU ITE sama sekali tidak dapat digunakan untuk penghinaan individu apalagi penguasa.
"Tindakan Polisi menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE mencerminkan kesewenang-wenangan," kata dia.
Untuk Pasal 27 ayat (3) UU ITE, lagi-lagi perlu diingatkan bahwa berdasarkan UU 19/2016 revisi UU ITE dinyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan. Pasal 207 KUHP pun juga berdasarkan pertimbangan putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 juga merupakan delik aduan absolut yang mensyaratkan harus terdapat pengaduan terlebih dahulu dari korban penghinaan yang dituduhkan. Pun begitu baik 207 KUHP atau pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat digunakan untuk melindungi Presiden Jokowi dalam kedudukannya sebagai pejabat/kepala pemerintahan.
Sebelumnya, Kapolri melalui Surat Telegram Nomor ST/1098/IV/HUK.7.1/2020, Surat Telegram Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1/2020, dan Surat Telegram Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1/2020 juga telah memberikan instruksi bagi penyidik untuk mulai mengantisipasi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, juga kasus-kasus penghinaan kepada penguasa/Presiden/Pemerintah yang terjadi selama situasi pandemi Covid-19.
Atas kebijakan tersebut, ICJR mengkritik keras langkah represif yang dikedepankan oleh Kapolri dalam menangani kasus-kasus ujaran kebencian.
"Aparat juga dapat dianggap melawan konstitusi ketika secara eksesif melakukan penegakan hukum dengan tidak didasari argumen hukum yang tepat terhadap orang-orang yang mengemukakan pendapat dan pikirannya. Karena itu termasuk bentuk pembungkaman terhadap kebebasan bereskpresi," jelasnya.
Pasal 28 UUD 1945 jelas menjamin hak warga negara untuk bebas mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.