"Di situ kami menyimpulkan bahwa tuntutan yang dibuat oleh JPU ini mengandung disparitas tuntutan pidana. Artinya, jaksa telah melakukan pelanggaran kode etik dalam merumuskan tuntutan," ujar Emanuel.
"Kami menilai ini ada pihak tertentu yang memengaruhi jaksa untuk memberikan tuntutan segila itu," imbuhnya.
Emanuel mengungkapkan, dugaan atas adanya pihak tertentu yang memengaruhi JPU dalam memberikan tuntutan terhadap tujuh tapol Papua di Balikpapan bukan tanpa alasan.
Dia mengatakan dalam persidangan pihaknya menemukan adanya oknum polisi yang kerap memantau dan sesekali terlihat duduk berdampingan dengan pihak JPU.
"Dalam perkembangannya juga semestinya ketika perkara sudah P21 itu sudah tidak ada hubungan dengan polisi. Tapi dalam persidangan itu dipantau terus oleh beberapa oknum dari pihak kepolisian. Kemudian, kami juga temukan fakta dimana jaksa duduk bersama dengan polisi pada saat persidangan, itu terlihat dalam kamera," ungkap Emanuel.
Emanuel juga menduga bahwa tuntutan yang tidak adil tersebut erat kaitannya dengan pernyataan Tito Karnavian ketika masih menjabat sebagai Kapolri.
Ketika itu Tito menyebut bahwa aksi unjuk rasa anti-rasisme di Papua ditunggangi oleh aktor intelektual dari ULMWP, KNPB dan AMP. Dimana beberapa tapol Papua di Balikpapan juga diketahui tergabung dalam organisasi tersebut.
"Berdasarkan fakta persidangan itu terungkap bahwa itu difasilitasi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jayapura tidak ada kaitannya dengan tuduhan itu. Kalau dalam konteks HAM, ahli sendiri mengatakan itu bagian dari ekspresi Politik yang dijamin dalam undang-undang," tutur Emanuel.
"Kami melihat jaksa sudah jelas-jelas melakukan pelangggaran independensi Kejaksaan dan prinsip kemerdekaan jaksa dalam melakukan tuntutan."
Baca Juga: Publik Bandingkan Nasib Eks Ketua BEM UGM dengan Ferry Kombo yang Ditahan