Menanggapi rencana gugatan masyarakat adat terkait sengketa lahan, Humas Pemprov NTT Marius Jelamu mengatakan gugatan itu hanya dilakukan oleh "segelintir orang yang mengklaim itu tanahnya".
"Kita justru senang kalau mereka proses itu secara hukum untuk nanti membuktikan ini lahan siapa, pemerintah atau mereka," tegas Marius.
Apa sengketa lahan dibalik insiden penggusuran?
Sengketa hutan adat Pubabu yang meliputi Desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam diawali oleh keengganan masyarakarat adat Besipae untuk menyetujui tawaran perpanjangan izin pinjam pakai lahan di kawasan hutan Pubabu.
Ahmad Bumi, kuasa hukum masyarakat adat Besipae menjelaskan konflik lahan bermula pada 1982 ketika pemerintah dan Australia bekerja sama dalam peternakan dan penggemukan sapi dengan meminjam lahan masyarakat adat
Setelah kontrak selesai, pengelolaan lahan itu semestinya dikembalikan ke masyarakat adat.
"Dalam perjalanan tidak tahu menahu ceritanya, tiba-tiba lahan itu sudah disertifikat hak pakai dan luasnya tidak tanggung-tanggung, 3.700 hektare," jelas Ahmad.
Nikodemus Manao, salah satu tokoh adat Besipae menjelaskan pada 1982, pemerintah Australia menghendaki 6.000 hektar lahan untuk peternakan sapi tersebut.
"Namun karena hutan adat Pubabu hanya seluas 2.671,4 hektare, maka tetua adat pada saat itu sepakat untuk memasukkan belukar dan pekarangan masyarakat sehingga genap 6.000 hektar," jelas Nikodemus.
Namun, pada 1985 pemerintah provinsi menerbitkan sertifikat di hutan adat Pubabu yang meliputi desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam.
Baca Juga: Gubernur Viktor Laiskodat Minta Stop Provokasi di Balik Konflik Besipae
Humas Pemprov NTT Marius Jelamu berdalih bahwa lahan itu sudah diserahkan oleh tetua adat kepada pemerintah daerah pada 1985 dan dibuat sertifikat atas lahan itu.