"Ketika saya lihat rumah saya digusur, saya merasa sedih dan saya pikir ini risiko perjuangan sudah seperti ini," ujarnya pelan.
Sejak Kamis pekan lalu hingga kini, Nikodemus beserta istri dan ketiga anaknya yang masih balita terpaksa tinggal di pekarangan dengan berlindung di bawah pohon bersama dengan anggota masyarakat adat lain yang rumahnya digusur.
![[BBC]](https://media.suara.com/pictures/original/2020/08/21/53191-konflik-agraria-ntt.jpg)
"Sementara kami berlindung di bawah pohon, anak-anak kami juga tidak bisa diperhatikan karena untuk mandi anak sendiri tidak punya air, karena kami di sini jauh dari mata air," jelas Nikodemus.
"Ada 29 KK yang sama-sama tinggal di bawah pohon," katanya.
Fadli Anetong, dari Aliansi Solidaritas Basipae mengatakan imbas dari kehilangan tempat tinggal itu, mereka kini tinggal di alam terbuka, beralaskan tikar dan beratap langit.
"Kalau malam mereka tidur di hamparan kosong," jelas Fadli.
"Menjadi kekhawatiran kami, beberapa warga yang tidur di hamparan kosong ini takutnya nanti sakit karena lingkungan di sini sangat tidak sehat, apalagi sampai tidur di luar, kan ada angin malam," imbuhnya kemudian.
Akan tetapi, Humas Pemerintah Provinsi NTT Marius Jelamu berkukuh bahwa apa yang dilakukan oleh kepolisian adalah "membuat efek kejut" bagi warga yang menolak direlokasi dan melakukan protes dengan berbagai macam cara.
"Karena anak-anak dan perempuan-perempuan ini tidak mau bangun, selalu tidur di jalan dan menghalangi [perubuhan rumah] maka Brimob melakukan shock therapy," jelas Marius.
Baca Juga: Gubernur Viktor Laiskodat Minta Stop Provokasi di Balik Konflik Besipae
"Jadi sama sekali Brimob kita tidak melakukan kekerasan, sama sekali tidak. Itu shock therapy dengan menembak peluru kosong ke tanah untuk membuat efek kejut dengan bunyi itu," imbuhnya.
Sejak Februari silam, masyarakat adat yang tinggal di hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan ini kerap mendapat intimidasi dan diskriminasi dari pihak berwenang, terkait lahan masyarakat adat yang diklaim oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Menurut Kuasa hukum masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, pengrusakan rumah setidaknya sudah terjadi tiga kali, yakni pada Febuari, Maret dan Agustus.
Apa yang terbaru dari insiden ini?
Masyarakat Adat Besipae kemudian melaporkan pengrusakan rumah yang mengakibatkan mereka kehilangan tempat tinggal ke kepolisian pada Rabu (19/08).
Kuasa hukum masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, mengungkapkan selain melaporkan pengrusakan rumah yang mereka alami, masyarakat adat akan menggugat pemerintah daerah terkait sengketa lahan.
"Hari ini [laporan kasus] pidananya soal pengrusakan dan penggelapan barang, kemudian disusul langkah hukum yang berikutnya kita gugat perdata soal lahannya," jelas Ahmad Bumi.