"Bumbu-bumbu pemberitaan yang sensasional masih banyak digunakan media, seolah beropini, seperti “Waduh!” dan “Terlalu!”. Juga penggunaan diksi diskriminatif seperti penyebutan "peserta pesta terlarang”, “pesta asusila sesama jenis”, hingga “hubungan terlarang” terhadap kelompok minoritas LGBTQ. Ini perlu dikritisi," tutur dia.
Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Hak Kelompok Rentan (LGBTIQ) beranggapan penggerebekan lokasi hingga penanganan, mengabaikan sejumlah hak tersangka. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi gagal mengawasi kerja pemerintah dan institusi Polri.
Karena itu, AJI Jakarta mendesak media massa berhenti mendiskriminasikan kelompok LGBTQ dalam pemberitaan.
Penghakiman moral berlandaskan prasangka kata Nurul bertentangan dengan Pasal 8 dalam Kode Etik Jurnalistik.
"AJI Jakarta juga mendesak Dewan Pers memantau dan menegakkan kode etik profesi," katanya.