Surpres Omnibus Law Digugat Koalisi Masyarakat Sipil, PTUN Menangkan Jokowi

Kamis, 22 Oktober 2020 | 19:07 WIB
Surpres Omnibus Law Digugat Koalisi Masyarakat Sipil, PTUN Menangkan Jokowi
Situasi sidang gugatan surat Presiden Jokowi soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja di PTUN. (Suara.com/Stephanus Aranditio)

Suara.com - Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jakarta menolak gugatan yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung Tim Advokasi untuk Demokrasi atas Surat Presiden Joko Widodo terkait pengajuan Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Dilansir dari situs sipp.ptun-jakarta.go.id, Hakim Ketua Sutiyono bersama Hakim Anggota Nelvy Christin dan Enrico Simanjuntak memutuskan bahwa gugatan para Penggugat tidak diterima, putusan hanya dicantumkan secara online pada Senin (19/10/2020).

"Menyatakan Gugatan Para Penggugat tidak diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard); Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 362.000," tulis putusannya dikutip Suara.com, Kamis (22/10/2020).

Dengan keputusan ini, Jokowi bebas dari gugatan yang diajukan oleh Koalisi Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Buruh Indonesia (KPBI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Menanggapi putusan itu, kuasa hukum koalisi sipil dari LBH Jakarta Charlie Albajili mengatakan pihaknya menemukan kejanggalan dalam putusan tersebut.

Pertama, amar putusan hanya dicantumkan pada sistem e-court PTUN Jakarta tanpa melampirkan salinan putusan, Charlie menyebut hal ini bertentangan dengan pasal 13 Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

"Hingga kini, para penggugat tidak dapat mengetahui putusan utuh dari PTUN Jakarta serta pertimbangannya sebab tidak mendengar putusan secara langsung dan tidak menerima salinan putusan meski sudah menjalankan kewajiban administratif," kata Charlie, Kamis (22/10).

Kedua, koalisi sipil tidak mendapatkan salinan putusan saat tanggal pembacaan putusan, ini dinilai sangat merugikan penggugat karena tidak dapat mengetahui dasar pertimbangan putusan hakim.

Kejanggalan ketiga, para penggugat diwajibkan menggunakan sistem e-court tanpa dasar hukum yang jelas meskipun sudah datang secara langsung untuk mendaftar secara konvensional di PTUN Jakarta.

Baca Juga: Uang 100 Ribu Dolar Singapura Terkait Skandal Djoko Tjandra Dikirim ke KPK

Charlie menjelaskan jika mengacu pada Peraturan MA 1/2019, Surat Edaran MA 1/2020 dan Surat Edaran Badilmiltun 187/2020, tidak ada ketentuan yang mewajibkan pendaftaran gugatan dengan e-court meski dalam situasi Covid-19.

"Penggunaan sistem e-court bahkan hanya dapat dilakukan atas persetujuan para pihak. Para Penggugat telah mengajukan keberatan namun ditolak oleh majelis hakim dengan alasan sudah terlanjur terdaftar dalam sistem e-court," jelasnya.

Berikutnya, majelis hakim juga tak kunjung memberikan keputusan permohonan penundaan berlakunya surpres hingga putusan akhir, padahal penggugat sudah memohon surpres ditunda sampai sidang ini menghasilkan putusan hukum tetap.

"Menurut para penggugat, majelis hakim PTUN Jakarta dapat mencegah pembahasan ugal-ugalan RUU Cipta Kerja di DPR RI dengan penundaan tersebut, namun tidak dilakukan," ujarnya.

Koalisi sipil juga menilai ahli administrasi negara, Yos Johan Utama (Rektor Undip), saksi ahli yang dibawa pemerintah berpotensi konflik kepentingan karena termasuk dalam Satgas Omnibus Law.

Charlie menyebut penggugat sudah menyatakan keberatan dengan saksi ini namun majelis hakim menolak dan tetap mengizinkan Yos Johan Utama memberikan keterangan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI