Suara.com - Bukan semata-mata karena kasus penggumpalan darah, penundaan distribusi vaksin AstraZeneca di Indonesia disebut lebih karena prinsip "kehati-hatian". Penundaan juga memunculkan kekhawatiran terkait masa simpan vaksin.
Pada 8 Maret 2021 lalu, Indonesia telah menerima 1,1 juta dosis vaksin siap pakai dari AstraZeneca. Vaksin ini diperoleh melalui skema multilateral COVAX Facility yang bertujuan mengupayakan kesetaraan akses terhadap vaksin COVID-19 untuk seluruh negara di dunia.
Vaksin tersebut juga telah masuk dalam daftar penggunaan darurat (EUL) dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak 15 Februari 2021.
Namun, kontroversi terkait penggunaan vaksin AstraZeneca belakangan bergulir. Banyak negara-negara di dunia terutama di Eropa yang menangguhkan penggunaan vaksin AstraZeneca menyusul adanya laporan terkait puluhan kasus penggumpalan darah di antara jutaan orang yang sudah menerima suntikan vaksin tersebut.
Termasuk Indonesia turut menunda implementasi vaksin AstraZeneca sambil menunggu konfirmasi dari WHO, demikian disampaikan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja di Komisi IX DPR RI, Jakarta, Senin (15/3).
Menunda bukan berarti membatalkan penggunaan
Menurut juru bicara vaksinasi COVID-19 dari Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmidzi penundaan distribusi vaksin AstraZeneca yang telah masuk ke Indonesia dilakukan bukan semata-mata karena kasus penggumpalan darah yang belakangan terjadi.
Tapi lebih kepada prinsip “kehati-hatian” dalam penggunaannya. Pemerintah menurut Siti Nadia masih menunggu arahan lebih lanjut dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dan tim ahli lainnya terkait kriteria penerima vaksin AstraZeneca tersebut.
Apakah nantinya akan disamakan dengan kriteria penerima vaksin produksi Sinovac dan Bio Farma atau tidak.
Baca Juga: Minta Asesmen Total Vaksin AstraZeneca, DPR: Pemerintah Jangan Kecolongan
Sejauh ini Indonesia masih memakai vaksin produksi Sinovac yang bekerja sama dengan Bio Farma dalam program vaksinasinya.
Namun tidak hanya menunggu rekomendasi BPOM, penundaan distribusi ini juga berarti ada pengecekan terhadap kualitas fisik vaksin AstraZeneca yang terlebih dahulu harus dilakukan.
“Jadi kita betul-betul menjamin dari segi mutunya artinya kita melihat apakah di dalam vial yang dikirimkan oleh AstraZeneca tadi terjadi perubahan warna atau perubahan bentuk fisik ini yang kita lakukan untuk melihat quality control-nya,” kata Siti Nadia dalam konferensi pers yang ditayangkan melalui akun YouTube Kementerian Kesehatan RI, Selasa (16/3).
Siti Nadia memperkirakan proses quality control, pengepakan dan persiapan distribusi vaksin AstraZeneca akan selesai dalam 2-3 minggu ke depan.
Namun ia tak menampik dalam rentang waktu tersebut, dimungkinkan adanya percepatan-percepatan.
“Jadi kita tunggu saja. Ini artinya antara persiapan packing dari vaksin untuk kita distribusikan dan juga tadi rekomendasi lebih lanjut dari BPOM mengenai penggunaan AstraZeneca, akan kita lakukan secara paralel,” tambahnya.