Warga Pancoran II Aksi Kawal Sidang Sengketa Lahan Lawan Pertamina

Rabu, 21 April 2021 | 17:58 WIB
Warga Pancoran II Aksi Kawal Sidang Sengketa Lahan Lawan Pertamina
Warga Pancoran Buntu II serta solidaritas Forum Pancoran Bersatu, turut mengawal jalannya persidangan perdata sengketa lahan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/4/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Artinya, ada dua poin penting yang harus menjadi perhatian, yaitu metode yang digunakan dan perlindungan hukum terhadap tindakan tersebut. Sayangnya, di Indonesia sering terjadi penggusuran paksa karena banyaknya pihak-pihak yang melangkahi prosedur hukum yang sudah ada.

Penggusuran paksa di Indonesia menjadi penyakit lama yang tidak kunjung sembuh. Ironisnya, penggusuran dilakukan dengan dalih pembangunan untuk kepentingan publik. Misalnya di Kertajati dan Kulon Progo, dimana penggusuran paksa dilakukan atas nama pembangunan bandara.

Kemudian ada juga sengketa lahan di Batang atas nama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Lalu yang paling sering untuk pembangunan jalan tol, seperti terjadi di Cijago dan Tangerang. Selanjutnya yang masih segar di ingatan kita adalah penggusuran di Tamansari yang dilakukan demi pembangunan rumah deret. Hal ini tentu menjadi perhatian khusus, apakah pemerintah lebih mementingkan pembangunan di atas hak asasi warganya?

Dalam realitanya masyarakat memiliki keterkaitan kuat atas ruang yang ditinggali selama puluhan tahun. Penggusuran secara paksa mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menyangkut ekonomi, sosial, dan budaya. Menurut Commision on Human Right Resolution 1993/77 menyatakan penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM berat. Semestinya siapapun harus menghargai apapun yang menjadi hak dasar masyarakat. Banyak dalih lahirnya penggusuran di Indonesia. 

Berbagai macam motif untuk memindahkan masyarakat dari ruang hidupnya; mulai dari atas nama kepentingan umum, normalisasi lahan, pembangunan kota megapolitan, pemulihan aset. Zonasi wilayah yang dibagi untuk area pemukiman, bisnis dan ruang terbuka hijau seringkali menjadikan penggusuran sebagai alternatif untuk penyediaan lahan.

Pancoran Buntu II hari ini menjadi masyarakat yang digusur atas dasar pemulihan aset yang dilakukan PT. Pertamina Training Consulting (PTC). Padahal, masyarakat sudah tinggal di Pancoran Buntu II lebih dari 20 tahun, bahkan hampir 40 tahun. Orang kepercayaan Ahli Waris menyewakan tanahnya untuk ditinggali oleh masyarakat Pancoran Buntu II yang mayoritas adalah pemulung. 

Tanah yang ditinggali masyarakat Pancoran Buntu II statusnya masih dalam sengketa antara ahli waris dengan PTC. Menurut pasal 195 HIR jo pasal 54 ayat 2 UU  No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Pengeksekusian lahan sengketa hanya bisa dilakukan oleh pengadilan negeri terkait, dengan catatan bahwa pengeksekusian yang dilakukan oleh pihak selain pengadilan negeri cacat hukum dan menihilkan prinsip hak asasi manusia”. 

Oleh karena itu, penggusuran paksa yang dilakukan oleh PTC dengan mengerahkan oknum ormas dan aparat negara merupakan perbuatan melawan hukum.

Tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh PTC kemudian dilaporkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh para Ahli Waris dengan nomor perkara 1013/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL. Saat ini, gugatan tersebut telah memasuki agenda sidang pemanggilan penggugat. 

Baca Juga: PTC Sebut PN Jaksel Tak Berwenang Adili Sidang Gugatan Warga Pancoran Buntu

Sidang yang dilakukan pada hari Rabu, 21 April 2021 ini kemudian menjadi momentum bagi Forum Pancoran Bersatu bersama Koalisi Rakyat untuk kembali menegaskan sikap dan ikut mengawal jalannya persidangan. Oleh karena itu, Forum Pancoran Bersatu bersama Koalisi Rakyat menyatakan sikap:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI