Para pendukung referendum berpendapat bahwa hal ini memberikan beban keuangan yang tidak semestinya pada mereka.
Undang-undang sebelumnya yang sudah berusia 150 tahun tersebut juga dianggap menghukum perempuan yang hamil akibat pemerkosaan.
Sekitar 65 persen yang mendukung aborsi adalah perempuan, kata Karen Pruccoli, seorang pengusaha San Marino yang memelopori gerakan The Yes.
"Kami telah meminta bidang politik untuk membuat undang-undang yang melegalkan aborsi," kata Pruccoli kepada The Independent.
"Ketika kami menyadari bahwa ranah politik tidak ingin memberlakukan undang-undang, kami memutuskan untuk mengadakan referendum," sambungnya.
Kampanye tersebut dibangun di atas momentum ketika banyak negara di Eropa yang melegalkan aborsi dalam beberapa tahun terakhir.
Pada bulan Juni, Gibraltar, Wilayah Luar Negeri Inggris di lepas pantai Spanyol, memilih untuk melonggarkan pembatasan aborsi. Irlandia juga melegalkan aborsi dalam referendum 2018.
Negara di Eropa yang masih mengharamkan aborsi adalah Malta dan Andorra. Polandia juga masih memberlakukan larangan total atas aborsi.
Baca Juga: Oknum Mahasiswi Pelaku Aborsi di Samarinda Resmi Ditetapkan Menjadi Tersangka