Suara.com - Giovanni van Empel hanya bisa melihat perkembangan anaknya di Indonesia lewat panggilan video.
Bulan Februari 2020, ia meninggalkan Yogyakarta untuk meneruskan studi doktoralnya di Monash University di Melbourne, Australia.
Berbekal visa pelajar, saat itu rencananya ia akan berangkat lebih dulu selama enam bulan sampai satu tahun, kemudian keluarganya menyusul.
“Tapi akhirnya mereka tidak bisa datang karena perbatasan Australia ditutup,” ujarnya.
“Saat berangkat, anak saya yang kecil baru berusia enam bulan, baru belajar duduk, tapi sekarang ia sudah bisa lari-lari,” tutur Giovanni sambil menerawang.
Giovanni memilih tetap tinggal di Melbourne karena tidak ada jaminan jika ia pulang ke Indonesia maka beasiswanya akan tetap berjalan dan tidak akan dihentikan.
Sudah hampir 20 bulan ia tidak bertemu keluarganya, Giovanni mengatakan anak-anaknya juga terkena dampaknya, karena kehilangan sosok ayah.
Setiap kali ia menelepon, anak pertamanya, Kahlil van Empel, selalu mengulang pertanyaan yang sama.
Giovanni sempat menaruh harapan saat Pemerintah Federal Australia mengumumkan akan membuka kembali perbatasan internasional mulai bulan November 2021, yang diperkirakan 80 persen penduduk Australia sudah divaksinasi penuh.
Dalam skema yang dibuat Pemerintah Australia, warga negara dan mereka yang memiliki status 'permanent residents' atau penduduk tetap yang sudah mendapat vaksin dua dosis akan diperbolehkan ke luar negeri.
Kemudian saat mereka kembali ke Australia, cukup melakukan karantina di rumah, tidak lagi di hotel.
Tapi tidak ada penjelasan tentang warga yang berstatus penduduk sementara, seperti pemegang visa pelajar.
“Yang menggelikan adalah, pemegang visa ini juga berkontribusi pada tingkat 80 persen vaksinasi itu dan kami sudah melakukan segala sesuatunya sesuai aturan yang berlaku.”