Kreativitas masyarakat dalam proses pembangunan infrastruktur banyak dijumpai, seperti pengecatan pada dinding rumah, bak penampungan sampah, dan sarana prasarana lainnya. Pemilihan warna material dan pemasangan gapura atau icon di beberapa wilayah juga menjadi penanda dari perubahan wajah sebuah kawasan, yang tadinya kumuh menjadi tidak kumuh.
Pendekatan infrastruktur berbasis masyarakat dengan pola padat karya menjawab tantangan penanganan kumuh secara komprehensif dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan. Masyarakat bekerja untuk mengubah lingkungan agar tidak kumuh dan mendapatkan upah sebagai imbalan setelah bekerja.
Dengan demikian, pola padat karya ini akan memberikan kontribusi peningkatan pendapatan dari masyarakat sekitar. Dalam masa pandemi COVID-19 ini, pola padat karya menjadi salah satu upaya dalam mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Pelaksanaan kegiatan dengan pola padat karya saat ini dapat kita temukan mulai dari Aceh hingga Papua, seperti di Gampong Juli Cot Mesjid, Aceh. Melalui program KOTAKU, masyarakat setempat terlibat langsung membangun drainase dan jalan rabat beton. Kegiatan yang dilaksanakan di Gampong Juli Cot Mesjid ini dinilai baik oleh pemerintah daerah, karena tak hanya berkontribusi dalam pengurangan kumuh, tetapi juga dapat menyerap tenaga kerja atau tukang dari masyarakat sekitar.
Di sisi Timur Indonesia, Papua, juga memiliki cerita baik dalam pelibatan masyarakat di Kelurahan Waena, yaitu dengan membangun jalan dan railing melalui program pemerintah daerah sebagai upaya kolaborasi dalam percepatan pengurangan kumuh. Pelaksanaan kegiatan padat karya yang dilakukan dari Sabang sampai Merauke ini bisa menjadi gambaran Bhinneka Tunggal Ika, walau berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Meski karakteristik masyarakat beragam tapi tetap ada satu tujuan pelibatan masyarakat dalam pembangunan dalam penanganan kawasan permukiman kumuh, bukan hanya sebatas membangun melainkan hingga keberlanjutan infrastrukturnya.
Keberhasilan penanganan kumuh perlu memperhatikan aspek sosial, yakni pola hidup masyarakat, aspek ekonomi, yaitu tingkat pendapatan masyarakat, dan aspek lingkungan, yaitu pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar dan peningkatan layanan kepada masyarakat. Kolaborasi sebagai perwujudan nilai gotong royong juga menjadi kunci utama dalam pengentasan kumuh, di mana pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta, akademisi dan masyarakat.
Berikutnya yang menjadi tantangan dalam penanganan kumuh adalah keberlanjutan untuk permukiman layak huni berkelanjutan. Kawasan permukiman yang sudah tidak kumuh perlu dilakukan pencegahan agar tidak kumuh kembali dengan peran serta pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan begitu, wajah permukiman Indonesia akan menjadi lebih baik.
Mochammad Reyhan Firlandy
Jafung Tata Bangunan dan Perumahan Ahli Muda
Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Kementerian PUPR
Baca Juga: Ratusan Satwa Dilindungi Dilepasliarkan, Ini Daftar Habitat Aslinya