Neraka Pekerja Migran Indonesia di Pandemi Malaysia

Erick Tanjung Suara.Com
Senin, 15 November 2021 | 17:49 WIB
Neraka Pekerja Migran Indonesia di Pandemi Malaysia
Ilustrasi pelecehan dan penyiksaan pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia. (Ali Ahmad)

Hayati mengaku ditahan di Blok A Detensi Semenyeh, Malaysia selama satu bulan. Pengamatan Hayati, di blok A terdapat 300 pekerja dari berbagai negara. Selama ditahan, Hayati mengaku alami penyiksaan dan kekerasan.

Ia mengungkapkan, perempuan hanya boleh membawa dua baju dan dilarang membawa pembalut. “Kalau datang bulan darahnya berceceran,” kata Hayati.

Kejadian itu masih sulit melupakan. Bahkan ketika pekerja sakit, petugas tidak memberikan obat. Alih-alih mengobati, petugas justru menyiram pekerja dengan air. “Obat susah didapat,” katanya.

Kata Hayati, tidak sedikit perempuan asal Indonesia yang ditahan di Detensi Semenyeh mengalami kecemasan yang berlebihan. Akibatnya, pekerja perempuan alami depresi dan stres berat. “Banyak yang menangis di tahanan. Saya ini PMI berdokumen, bukan nonprosedural, kenapa saya diperlakukan begitu,” ujarnya.

Koordinator Migrant Care Malaysia, Alex Ong menjelaskan selama pandemi Covid-19, pekerja migran indonesia mengalami berbagai bentuk perlakuan buruk. Pemerintah Malaysia selalu melakukan razia untuk menangkap PMI yang memiliki dokumen maupun yang tak berdokumen. “Orang Malaysia takut pekerja migran Indonesia membawa penyakit virus,” kata Alex Ong kepada Suara.com melalui telepon, Rabu, 21 Oktober.

Masalah lain, PMI yang masa tahanan sudah habis kemudian diperpanjang tanpa ada alasan. Dalam pantauan Alex, terdapat 5.000 PMI yang masih ditahan. “Semestinya mereka mendapatkan perlakuan repatriasi (pengembalian ke negara asal) setelah menjalani hukuman,” ujar Alex.

Penahanan tersebut, kata Alex, berdampak buruk bagi PMI perempuan, seperti sulit mendapatkan pekerjaan selepas ditahan, gangguan psikologi, hak untuk hidup tercabut, hingga perempuan yang suaminya ditahan sulit mendapatkan penghasilan untuk biaya hidup di Malaysia. “Itu kan satu pelanggaran HAM,” ucap Alex.

Bagi Alex, jaminan perlindungan untuk PMI di Malaysia masih jauh dari harapan. Alex mendorong agar kedua negara lebih serius memperhatikan kondisi PMI. Menurutnya, MoU yang dibuat kedua negara seperti tidak memberikan kepastian keselamatan, keamanan, dan perlindungan kepada PMI.

Baca Juga: 4 Cara Menurunkan Berat Badan, Terbukti Sehat dan Efektif

Indonesia telah melakukan MoU terkait dengan jaminan keselamatan PMI pada 2012 yang diperpanjang pada 2018 lantaran masa berlaku telah habis. Kekiniaan, pemerintah kembali menyiapkan MoU yang akan ditandatangani pada akhir 2021. ”Sibuk MoU tapi mekanisme perlindungan tidak memuaskan,” kata Alex.

Komisi Nasional Perempuan mendesak pemerintah agar lebih tanggap menangani PMI yang alami kekerasan maupun penahanan berlebihan di detensi. Menurut komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, kasus seperti penyiksaan dan permintaan uang kepada PMI dengan dalih membantu pemulangan merupakan kejahatan melanggar hukum. Ia meminta pemerintah untuk mengusut dengan tuntas. “Permintaan uang kepada PMI oleh petugas detensi merupakan bentuk pelanggaran karena menggunakan jabatan untuk meminta sejumlah uang dari PMI. Atas perlakuan tersebut harus ada upaya advokasi dari pemerintah Indonesia terhadap pelanggaran tersebut,” kata Tias, Selasa, 26 Oktober.

Sepanjang 2020, Komnas Perempuan telah menerima puluhan pengaduan PMI. Beberapa bentuk kekerasan yang dialami PMI di luar negeri seperti, kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), eksploitasi narkoba, dan berhadapan dengan pidana mati. Menurut Tias—sapaan akrabnya-- PMI wajib mendapatkan jaminan perlakuan aman dan hidup layak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Beleid tersebut menjelaskan PMI berhak mendapatkan hak-haknya, seperti akses hukum bagi korban dan keluarga. “Dalam pemenuhan hak tersebut dapat diwujudkan dengan kehadiran negara dengan menjamin perlindungan hukum, sosial, dan ekonomi PMI dan keluarganya,” kata Tias.

Perempuan yang aktif di serikat pekerja ini meminta pemerintah memberikan kompensasi sesuai dengan tingkat kerugian material dan non material korban. Selain itu, Tias juga meminta agar pemerintah memberikan pemulihan bagi PMI yang alami kekerasan penyiksaan, dan praktik penahanan berlebihan. ”Pemerintah harus melakukan itu,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Judha Nugraha mengaku belum ada laporan terkait dengan kekerasan maupun permintaan uang kepada PMI di detensi di Malaysia. Pihaknya akan mendalami kasus-kasus pelanggaran hukum terhadap PMI. “Kami saat ini belum menerima laporan tertulis. Kami mendorong agar PMI melaporkan kepada kami,” kata Judha, Jumat, 29 Oktober.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI