Suara.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyampaikan sejumlah rekomendasi berkaitan dengan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) setelah bertemu dengan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej pada Jumat, 20 Juni kemarin.
Ketua Tim Kajian RUU KUHAP Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai menyampaikan bahwa pihaknya merekomendasikan agar kewenangan penggunaan upaya paksa pada penyelidikan dan penyidikan harus diikuti peningkatan kualitas dan mekanisme sistem pengawasan yang ketat, baik dari internal maupun eksternal.
“Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap saksi, tersangka dan/atau korban. Selain itu, harus ada pembatasan waktu dalam proses penyidikan dan penyelidikan,” kata Haris dalam keterangannya, Sabtu, 21 Juni 2025.
Kemudian, rekomendasi lainnya ialah penggunaan kewenangan upaya paksa yang dinilai sebaiknya digunakan secara ketat dengan indikator-indikator yang jelas dan terukur. Serta dibuka peluang kepada pihak yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengajukan keberatan, baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan.
![Komisioner Komnas HAM menggelar konferensi pers terkait temuan pelanggaran HAM dalam peristwa bentrok di Pulau Rempang Kepulauan Riau beberapa waktu lalu. Abdul Haris Semendawai (berjas) dengan Putu Elvina (sebelah kanan) menyampaikan mengenai bayi yang terpapar gas air mata dalam peristiwa tersebut. [Suara.com/Rakha]](https://media.suara.com/pictures/original/2023/09/22/67172-komisioner-komnas-ham-menggelar-konferensi-pers-terkait-temuan-pelanggaran-ham.jpg)
“Ketentuan-ketentuan mengenai mekanisme praperadilan sebaiknya dirumuskan ulang agar menjadi mekanisme yang secara materiil mewakili kepentingan tersangka, korban, dan masyarakat secara umum yang berhak atas keadilan. Tidak hanya menguji aspek formil dalam proses penyelidikan dan penyidikan serta penggunaan upaya paksa yang dimiliki penyelidik/penyidik,” ujar Haris.
“Serta masa sidang harus dilakukan dalam 14 hari kerja dan perkara pokok belum bisa dilimpahkan sebelum praperadilan diputuskan,” tambah dia.
Komnas HAM menilai mekanisme keadilan restoratif harus dilakukan atas persetujuan dari korban dengan ditetapkan oleh pengadilan. Dalam prosesnya, lanjut Haris, penyidik yang menangani perkara tidak boleh menjadi mediator.
“Hal ini untuk menghindari terjadinya potensi ‘transaksional’ antara korban dan pelaku, khususnya korban yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi, sosial dan akses bantuan hukum,” terang Haris.
Lebih lanjut, Komnas HAM juga merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR menyelaraskan Hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, ahli, dan korban dengan ketentuan yang diatur dalam RUU HAP dengan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca Juga: KUHAP Baru Siap Meluncur! DPR Targetkan Rampung dalam 2 Masa Sidang
Menurut mereka, perhatian juga harus diberikan kepada kelompok masyarakat adat. Dalam pengaturan KUHAP, Komnas HAM menilai harus memerhatikan hukum yang berlaku di dalam masyarakat (living law).
“Bantuan hukum juga harus dapat diberikan kepada tersangka dan terdakwa dengan hukuman dibawah 5 tahun. Selain itu, bantuan hukum juga harus diberikan kepada korban mulai dari proses awal peradilan pidana (penyelidikan),” tutur Haris.
Komnas HAM juga menyoroti ketentuan jangka waktu banding yang dianggap singkat. Sebaiknya, kata Haris, Pemerintah dan DPR memberikan waktu yang cukup bagi para pihak, khususnya terdakwa atau kuasa hukumnya yang ingin mengajukan banding untuk mempersiapkan permohonan dan memori bandingnya secara lebih komprehensif.
RUU HAP disebut harus dapat mengakomodasi kemungkinan mekanisme pengujian admisibilitas (admisibility) terhadap alat-alat bukti untuk memastikan bahwa alat-alat bukti tersebut diperoleh dengan cara-cara yang layak, patut, serta tidak melanggar norma hukum dan kesusilaan.
“Ketentuan mengenai koneksitas, RUU HAP sebaiknya memperjelas kriteria ‘Titik Berat Kerugian’ dalam menentukan suatu perkara,” tegas Haris.