Salah satunya kriminalisasi yang menimpa jurnalis Aceh, Bahrul Walidin. Jurnalis metroaceh.com ini dilaporkan setelah menulis berita berjudul “Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung” yang terbit di media online, pada 20 Agustus 2020.
"Kasus ini telah masuk tahap penyidikan, meskipun sebelumnya Dewan Pers melalui pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) nomor 41/PPR-DP/X 2020 telah menilai dan menegaskan, bahwa berita yang ditulis Bahrul merupakan produk jurnalistik," kata Erick.
Jika mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkominfo RI, Kapolri, dan Jaksa Agung RI, tentang Pedoman Implementasi UU ITE, pada Pasal 27 ayat (3) huruf l, maka karya jurnalistik dikecualikan atau bukan merupakan delik dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Dalam keputusan tersebut tertulis: "Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Erick mengatakan, masih langgengnya kriminalisasi terhadap jurnalis menggunakan UU ITE, menjadi bukti SKB yang dibuat ketiga lembaga tersebut, belum memberikan perlindungan bagi jurnalis.
Penerbitan pedoman implementasi tidak menghilangkan permasalahan substansial pasal-pasal karet UU ITE. Selain itu, SKB hanya mengikat tiga lembaga yang membuat keputusan bersama, dan tidak mengikat lembaga peradilan.
Salah satu contoh pada vonis jurnalis Muhamad Asrul, majelis hakim tidak sama sekali memakai SKB dalam pertimbangannya.
Catatan Advokasi Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis dan Media
KKJ dalam catatan akhir tahun menyampaikan bahwa media massa mampu membentuk opini masyarakat. Sehingga jurnalis harus dapat melaksanakan tugas jurnalistiknya secara profesional. Karena itu, profesi ini harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
Baca Juga: Vonis Bebas Stella Monica Diapresiasi, Jaksa dan Polisi yang Terlibat Harus Diperiksa
Namun dalam melaksanakan fungsinya, jurnalis atau media, seringkali berhadapan dengan ancaman baik kekerasan fisik maupun non fisik. Sehingga jurnalis dan atau media rentan menjadi korban kekerasan.
Kekerasan terhadap jurnalis atau media merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang jika pelanggaran itu terjadi, maka terdapat hak-hak asasi manusia lainnya, yang juga terlanggar seperti hak atas informasi kepada masyarakat.
Komite Keselamatan Jurnalis mencatat selama 3 tahun terakhir, sejak 2019 sampai 2021, angka kekerasan terhadap jurnalis dan media tidak menunjukan penurunan, bahkan mengalami kenaikan pada tahun 2019 dan 2020.
Kenaikan kekerasan itu kerap mengikuti peristiwa politik di tanah air, baik pemilu atau pembahasan dan pengesahan peraturan perundang- undangan kontroversial.
Sejak dideklarasikan pada 5 April 2019, atau selama hampir 3 tahun terakhir, Komite Keselamatan Jurnalis telah melakukan advokasi terhadap 33 kasus kekerasan terhadap jurnalis ataupun media.
Kategori kekerasan mencakup kekerasan fisik dan kekerasan non fisik, serta serangan digital.