Maka, logika kebijakan yang dijalankan, sambung Gufron, adalah kebijakan mayoritas-minoritas, yang ukuran keadilan dipandang secara agregatif berdasarkan jumlah. Seharusnya, yang harus dipahami adalah setiap orang atau kelompok memiliki kedudukan yang setara dan hak yang sama.
"Kebijakan yang dibuat Bupati Sintang seharusnya kebijakan yang inklusif, yang menjamin setiap hak warga negara, dalam konteks ini hak atas beragama dan berkeyakinan."
Perintah Pembongkaran
Ketua Tim Advokasi Jamaah Ahmadiyah Fitria Sumarni mengatakan, Surat Perintah III terkait pembongkaran Masjid diterima oleh kelompok muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan pada 7 Januari 2022 lalu.
Dalam surat tersebut, Pemkab Sintang meminta agar warga membongkar masjid tersebut dengan batas waktu 14 hari.
Fitria mengatakan, sejak terbitnya SP I hingga SP III, Bupati Sintang, Jarot Winarno membuat framing jika Masjid Miftaful Huda sebagai bangunan tanpa izin yang digunakan sebagai tempat ibadah. Padahal, masjid tersebut sudah ada sejak tahun 2007.
Pada tahun 2020, masjid tersebut kembali dibangun karena kondisinya sudah tidak layak. Sebab, bangunan yang selama 13 tahun itu digunakan untuk beribadah itu berbahan dasar kayu -sehingga kondisi sudah lapuk dan tidak layak.
Selama rentan waktu 13 tahun itu pula, Komunitas Ahmadiyah di Desa Balai Harapan bisa menggunakan masjid untuk beribadah dengan aman, nyaman. Bahkan, mereka harmonis hidup berdampingan dengan warga sekitar.
Jarot Winarno, dalam pandangan Fitria, sengaja membikin framing jika Masjid Miftahul Huda untuk menghindari penggunaan perselisihan rumah ibadah sebagaimana merujuk pada peraturan bersama dua menteri tahun 2006 tentang rumah ibadah.
"Jadi bupati merasa punya kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada bangunan tak berizin berupa sanksi pembongkaran," ucap Fitria.