Mereka juga menularkannya tanpa disadari karena mereka lebih mungkin memiliki penyakit bawaan dan tidak mendapatkan informasi kesehatan mendasar dalam bahasa mereka.
Selain itu, upaya penerjemahan informasi kesehatan masyarakat dilakukan asal-asalan ke kalangan komunitas multikultural, termasuk informasi yang telah kedaluwarsa.
Ketua Federasi Komunitas Etnis Australia Mary Patetsos menyebutkan warga dengan latar belakang yang beragam secara budaya dan bahasa (CALD) juga lebih rentan terhadap COVID-19 karena mereka banyak berada di tempat kerja yang mencatat kasus tinggi.
"Mereka menjadi pengemudi truk, mereka bekerja di panti jompo, jadi perawat, serta bekerja di rumah sakit di garis depan," katanya.
Mary mengatakan perlu upaya lebih serius untuk mencegah angka kematian yang tidak proporsional, apalagi menurutnya pemerintah tidak terlibat penuh dalam penyebaran informasi kesehatan masyarakat di kalangan komunitas pendatang.
“(Pemerintah) seharusnya mengantisipasi dan merespons risiko secara lebih baik sehingga kita tidak ada anomali dalam hal kematian dan prevalensi di kelompok masyarakat tersebut,” katanya.
Pejabat Tertinggi Bidang Medis Profesor Paul Kelly dalam rapat Senat Australia menjelaskan data statistik kematian COVID ini mencerminkan wilayah yang paling parah dilanda pandemi.
"Selama ini kita sudah tahu ada masalah tersendiri yang dihadapi komunitas masyarakat yang beragam secara budaya dan bahasa," jelas Profesor Kelly.
"Jika kita melihat kembali wabah (varian) Delta di Sydney tahun lalu, wilayah Sydney barat daya menjadi pusat wabah untuk waktu yang sangat lama. Populasi warganya kebanyakan kelahiran luar negeri. Populasi multikultural," jelasnya.
Ketua satgas penanganan COVID-19 di kalangan komunitas beragam budaya dan bahasa, Lucas De Toca, dalam rapat di Senat mengaku pihaknya telah melibatkan para tokoh masyarakat.