Angka Prevalensi Stunting Tinggi, BKKBN Ungkap 3 Penyebabnya

Iwan Supriyatna Suara.Com
Selasa, 29 Maret 2022 | 05:26 WIB
Angka Prevalensi Stunting Tinggi, BKKBN Ungkap 3 Penyebabnya
Ilustrasi stunting pada anak. [Istimewa]

Suara.com - Kasus stunting atau masalah pertumbuhan pada anak masih menjadi permasalahan serius yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan ada tiga penyebab langsung terjadinya stunting, yaitu asupan gizi yang kurang, masalah kesehatan ibu, dan pola asuh yang tidak baik.

“Penyebab utamanya itu asupan gizi yang kurang secara kronis terus menerus dan jangka panjang, (ibunya) sering sakit-sakitan, dan (pola) asuhannya tidak baik. Ibu hamil yang tidak sehat, anemia, kekurangan vitamin D, kekurangan asam folat itu peluang anaknya stunting jadi lebih besar. Begitu juga ibu hamil yang terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering hamil, terlalu banyak anaknya, ini juga menjadikan faktor stunting,” ungkap Hasto ditulis Selasa (29/3/2022).

Selain penyebab langsung, Hasto juga menjelaskan penyebab tidak langsung stunting yaitu lingkungan yang buruk seperti rumah yang tidak higienis, sanitasi air kurang baik, minim air bersih, dan jamban yang kurang layak.

Menurut Hasto, kondisi lingkungan yang tidak higienis menimbulkan berbagai penyakit seperti Tuberkulosis (TBC) yang akan menghambat pertumbuhan berat dan tinggi badan.

“Minimnya air bersih membuat anak mudah sakit karena lingkungannya tidak sehat. Kemudian jambannya tidak ada, jadi buang air besar sembarangan membuat lingkungan tercemar. Selain itu imunisasi yang tidak sempurna juga membuat anak mudah sakit sehingga terjadi stunting,” jelasnya.

Persoalan stunting harus diatasi secara serius mengingat sekitar 2 hingga 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB “hilang” per tahunnya akibat stunting. Hal ini disebabkan stunting juga berisiko menurunkan kualitas sumber daya manusia suatu negara.

Hasto menjelaskan bahwa sangat diperlukan mengubah perilaku dan mindset masyarakat mengenai pencegahan stunting, khususnya keluarga muda yang akan program hamil.

Banyak masyarakat yang masih mengesampingkan perilaku pencegahan stunting seperti tidak melakukan prakonsepsi atau perawatan sebelum terjadi kehamilan.

Baca Juga: Ingatkan Ibu-ibu Soal Stunting Saat Demo Masak Tanpa Minyak Goreng, Megawati: Anak-anak Jangan Dikasih Chiki Terus

“Ini soal perilaku dan mindset. Misalkan dia punya makanan tapi memberi makanannya tidak bagus, hanya dikasih mie, padahal punya ikan punya telur. Dan mereka yang kesadaran imunisasinya rendah padahal imunisasi dasar itu gratis di puskesmas. (Perilaku) Ini (semua) berisiko stunting,” papar Hasto.

Untuk mengatasi permasalahan stunting, BKKBN sebagai Ketua Tim Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Nasional melakukan berbagai upaya. BKKBN merencanakan program konvergensi yang memungkinkan sinergisitas antar kementerian dan lembaga terkait.

Upaya ini merupakan langkah nyata untuk mewujudkan program pemerintah yang menargetkan angka stunting turun menjadi 14% pada 2024.

“BKKBN mengerahkan namanya konvergensi yang melibatkan Kementerian dan Lembaga terkait. Misalnya Kementerian PUPR memperbaiki sanitasi, Kementerian Pertanian menyediakan pangan, Kementerian Kesehatan memfasilitasi penelitian dan pelayanan, dan lainnya,” ucapnya.

Selain itu, tambah Hasto, pihaknya juga bekerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk mendukung program penanganan stunting. BKKBN menunjuk 600 ribu orang yang tersebar di berbagai daerah untuk menjadi pendamping keluarga dengan risiko tinggi stunting.

“Setiap Pemerintah Daerah ini punya program namanya RANPASTI (Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting). BKKBN baru roadshow sudah berjalan tiga bulan dan kami bersyukur respon Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah sangat bagus,” tutup Hasto.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI