Usman melanjutkan, hingga kini hanya satu kasus pelanggaran HAM berat yang kini naik ke persidangan, yakni Peristiwa Paniai 2014. Namun, hal tersebut tetap menjadi kontroversi mengingat hanya ada satu terdakwa.
Selain itu, penentuan lokasi pengadilan di Makassar, Sulawesi Selatan serta minimnya pelibatan korban menjadi catatan buruk. Usman menyebut, pengadilan HAM itu diprediksi gagal menghadirkan keadilan bagi publik dan mengulang tiga proses sebelumnya yang tidak menghukum satu pun pelaku.
"Tentu kita juga masih ingat bagaimana Jaksa Agung yang Presiden pilih yakni ST Burhanudin malah melawan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II di Pengadilan Tata Usaha Negara padahal telah keliru menyatakan bahwa kasus tersebut bukanlah pelanggaran HAM berat," tegas Usman.
Koalisi Masyarakat Sipil juga berpendapat, pernyataan Jokowi mengenai proses pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu ditelisik lebih jauh. Sejauh ini prosesnya tidak melibatkan partisipasi publik utamanya para penyintas dan keluarga korban.
Menurut Usman, tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai korelasi antara fungsi KKR dan peranannya dalam proses hukum di Pengadilan HAM.
Pengalaman dibatalkannya UU 27/2004 tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi tidak juga membuat pembahasan mengenai bentuk KKR yang sesuai dengan ketentuan hukum dan HAM secara internasional untuk kepentingan korban dan publik tak membuat prosesnya bisa diakses oleh publik.
"Perihal Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu juga melahirkan sejumlah polemik yang berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia," tegas dia.
Keppres tersebut secara tegas, lanjut Usman, memperlihatkan bahwa Pemerintah mengutamakan mekanisme non-yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal itu dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap sudah menuntaskan pelanggaran HAM berat.
Fakta tersebut tidak dapat dipungkiri terjadi akibat adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan hari ini. Perihal efektivitas yang didasari oleh tugas dan fungsi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ini juga patut dipertanyakan.