THIOLINA: Tiba-tiba, saya merasakan sebuah tangan yang sangat besar mengeluarkan saya dari mobil. Saya tidak tahu bagaimana saya dikeluarkan, entah melalui pintu atau jendela. Tangan itu mengeluarkan dan membaringkan saya.
Saya tidak bisa melihat apa-apa, jadi saya cuma bisa meraba dengan tangan saya. Saya merasa ada di trotoar. Lalu, menurut orang-orang, saya lari dari lokasi kebakaran dan terus meminta tolong.
DECI: Ada seorang perempuan yang menolong saya, memanggil saya supaya dipanggilkan ambulans. Dia mendudukan saya, memberi air. Ia lalu mencarikan saya kendaraan untuk mengangkut ke rumah sakit.
THIOLINA: Tiba-tiba, saya bertemu seseorang yang menuntun saya ke mobilnya, saya tidak tahu ia siapa tapi ia menyuruh saya masuk mobil ... Ia menanyakan nama saya dalam bahasa Inggris. Saya memberikan padanya nomor ibu saya. Ibu saya tidak percaya saya di sana malam itu. Lalu pria ini membawa saya ke rumah sakit di Kuta.
ERIK: Pada satu titik saat saya masuk ke dalam klub, atapnya runtuh dan ada tiga perempuan yang terperangkap di ujung klub di atap yang terbakar. Dan mereka berteriak minta tolong.
Saya melihat mereka dan berpikir 'saya harus berjalan menyeberangi atap ini, yang panjangnya 20 kaki, dan terbakar.' Berat badan saya 120 kilogram. Saya pikir 'satu kali menyeberangi saja sudah bagus, bagaimana menyeberang tiga kali dengan membawa satu perempuan setiap kalinya.'
Jadi saya terpaksa meninggalkan perempuan itu dan membiarkan mereka meninggal. Otak saya mengatakan saya melakukan hal yang benar tapi hati saya terus mengatakan 'kamu pengecut' ... dan saya masih dihantui keputusan yang saya buat 20 tahun lalu ini.
Situasi dalam 'zona perang'
Rumah Sakit Sanglah langsung kewalahan menangani korban yang datang. Beberapa di antaranya ada yang diterbangkan ke Australia untuk ditangani ahli luka bakar.
ALAN: Rumah sakit Sanglah seperti medan perang. Kamar-kamar penuh dengan pasien, para petugas bekerja lebih keras, orang-orang mengalami luka yang mengerikan, terbakar, dan beberapa bisa saja meninggal.
Baca Juga: Cara Australia Merawat Korban Bom Bali Masih Bermanfaat Hingga Saat Ini
DECI: Sampai di sana [rumah sakit Sanglah] sudah sangat penuh, korban ada di mana-mana. Saya tidak langsung mendapat bantuan … Sampai akhirnya seorang perawat membawa kursi roda dan meminta saya untuk duduk lalu mendorong ke dalam. Begitu di dalam saya harus menunggu karena saking penuhnya. Saya ingat cuma bisa memegang tangan untuk menahan darah yang terus keluar.
... Begitu mereka mengangkat saya dari kursi roda, saya tidak ingat apa-apa. Saya bangun dan melihat ibu saya ada di sebelah dan bilang kalau saya tidak sadarkan diri selama tiga hari. Dan kondisi saya tidak baik.
ALAN: Di luar [rumah sakit], ambulans dan truk terus berdatangan, membawa lebih banyak korban. Anak-anak memanjat pohon dari sebelah untuk mengintip.
ANDREW: Saya ingat dibawa di belakang bak mobil dengan alas setrikaan. Mereka bilang saya akan dibawa ke rumah sakit Sanglah. Saya ingat mereka mencoba agar kami tetap tenang sambil mengecek luka. Amputasi pertama saya dilakukan di Bali, kaki kiri di atas mata kaki dan di kaki kanan bagian jarinya.
... Kemudian dibawa dengan tandu ke Denpasar untuk diterbangkan ke Darwin menggunakan pesawat Hercules.
THIOLINA: Setelah salah satu rumah sakit kepenuhan, sebuah ambulans membawa saya ke rumah sakit militer di Denpasar. Sampai di sana saya mendengar rumah sakit yang bising karena ada banyak orang. Ada yang menjerit matanya rusak hingga harus dioperasi malam itu juga. Saya dengar mereka kesulitan untuk mendapat infus. Saya dioperasi malam itu.