AJI Indonesia Paparkan 8 Indikator yang Dapat Digunakan untuk Mengukur Keamanan Jurnalis di Tanah Air

Senin, 16 Januari 2023 | 20:29 WIB
AJI Indonesia Paparkan 8 Indikator yang Dapat Digunakan untuk Mengukur Keamanan Jurnalis di Tanah Air
sidang putusan kasus penganiayaan jurnalis Tempo Nurhadi di PN Surabaya, Rabu (12/1/2022). Dua terdakwa yang merupakan anggota polisi divonis 10 bulan penjara. [ANTARA]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sepanjang tahun 2022, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 61 kasus serangan terhadap jurnalis di Tanah Air. Tren tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2021 yang tercatat 43 kasus.

Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim menyatakan, ada delapan indikator yang bisa digunakan untuk mengukur keamanan para jurnalis di Indonesia. Poin pertama, yakni jurnalis dan awak media bisa menjadi sasaran ancaman, pelecehan, hingga pengawasan.

"Pertama, jurnalis dan awak media bisa menjadi sasaran ancaman, pelecehan atau pengawasan. Jadi kita tidak hanya melihat jurnalis, tapi juga awak pekerja media yang juga terlibat dalam kerja-kerja jurnalistik," kata Sasmito dalam diskusi daring, Senin (16/1/2023).

Indikator kedua dalam mengukur keamanan jurnalis adalah tidak adanya serangan secara fisik. Namun, pada praktiknya, para jurnalis begitu rentan menjadi korban serangan bahkan ditangkap ketika sedang meliput aksi unjuk rasa.

Indikator nomor tiga adalah organisasi media tidak dipaksa untuk tutup. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Kominfo nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat yang bisa menjadi ancaman bagi organisasi media.

Berikutnya, impunitas terhadap aktor yang melakukan serangan terhadap jurnalis. Catatan AJI Indonesia, tahun 2022 ada satu kasus kekerasan yang menyasar jurnalis Tempo, Nurhadi yang telah diadili di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur.

Indikator selanjutnya adalah organisasi media harus melindungi kesehatan dan keselamatan staf dan pekerja lepas mereka. Kata Sasmito, hal ini juga masih sangat minim dijumpai di perusahaan-perusahaan media di Indonesia.

Minimnya SOP keamanan, khususnya soal penanganan kekerasan seksual di kantor media masih menjadi potret kenyataan yang ada. Bahkan, di tingkat Dewan Pers sekalipun, SOP penanganan kasus kekerasan seksual juga belum ada.

"Mudah-mudahan di 2023 kami bisa mendorong soal SOP baik di Dewan Pers atau di perusahaan media," ucap Sasmito.

Baca Juga: Terjadi 61 Kasus Serangan ke Jurnalis Sepanjang 2022, AJI Indonesia Minta Perusahaan Media Berikan Jaminan Perlindungan

Indikator selanjutnya adalah langkah-langkah perlindungan sosial untuk semua staf termasuk karyawan sementara dan pekerja lepas. Sasmito menyebut, ada regulasi yang mengatur terkait BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan ataupun asuransi lainnya.

"Tapi hasil riset AJI nanti bisa dipaparkan teman-teman Divisi Ketenagakerjaan. Itu memang masih sedikit sekali teman-teman pekerja media yang punya jaminan perlindungan sosial," tambahnya.

Sasmito menambahkan, indikator selanjutnya adalah jurnalis tidak secara rutin melakukan sensor diri karena takut akan hukuman, pelecehan, ataupun serangan lainnya. Menjelang Pemilu 2024 mendatang, sensor semacam ini akan menguat karena ada beberapa perusahaan media yang dalam tanda kutip berafiliasi dengan partai politik tertentu.

"Tentu perlu ada riset bersama, bagaimana kita membongkar sensor-sensor di perusahaan media menjelang Pemilu 2024," jelas Sasmito.

Terakhir, kerahasiaan sumber yang dilindungi oleh hukum dan harus dihormati. Menurut Sasmito, ada beberapa kasus narasumber yang semestinya dilindungi seperti diatur dalam Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Tapi kemudian menjadi sasaran pelaporan ya oleh orang-orang yang tidak suka dengan pemberitaan. Jadi 8 indikator ini yang kami gunakan untuk mengukur keamanan jurnalis di Tanah Air," pungkas Sasmito.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI