Menkop UKM Teten sempat mengajak pedagang pakaian bekas impor untuk alih usaha menjual produk-produk lokal. Namun, Rifai menilai itu bukan hal yang mudah. Terlebih, penjualan produk lokal dengan pakaian bekas impor memiliki pangsa pasar masing-masing sesuai selera konsumen.
“Kalau alih usaha kayanya nggak segampang itu juga, karena kalau dibilang jual baju lokal yang bagaimana? Masuk barangnya dari mana? Pembayarannya bagaimana? Harganya bagaimana? Kan kami enggak tahu juga,” ucap Rifai.
Setidaknya ada sekitar 1.500 pedagang di 807 kios yang bergantung hidup dari pakaian bekas impor di Pasar Senen tersebut. Mereka bingung, bagaimana kelangsungan usahanya setelah stok barang habis. Rifai mengaku masih menunggu solusi dari pemerintah yang belum jelas hingga saat ini.
“Makanya kami sendiri sebetulnya bingung, mau ditutup tapi solusinya sampai sekarang belum jelas. Anggaplah barang-baran ini habis sampai lebaran, terus setelah itu bagaimana? Sampai sekarang belum ada pembicaraan lanjutan mengenai usaha baju impor bekas ini, belum ada,” tutur Rifai.

Menurut dia, para pedagang saat ini kebingungan dengan rencana masa depan mereka. Sebab, mayoritas dari mereka telah bertahun-tahun menggantungkan hidup dari penjualan pakaian bekas impor. Oleh karena itu, mereka hanya akan menunggu kebijakan pemerintah selanjutnya.
Tak ada solusi bagi para pedagang pakaian bekas impor ini juga menjadi sorotan bagi Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Dia menilai langkah pemerintah melakukan penindakan secara masif terhadap barang dagangan pakaian bekas impor kurang tepat. Pasalnya, menurut dia, isu utama pemutusan hubungan kerja (PHK) di industry tekstil disebabkan oleh pasar ekspor yang lemah dan barang impor Cina membanjiri pasar domestik.
"Salah tembak kalau mau berantas thrifting lalu produk lokal laku. Yang terjadi sekarang konsumen geser beli barang jadi dari Cina yang harganya mirip barang thrifting, sementara para pedagang thrifting kebingungan dan tidak ada kompensasi dari pemerintah,” ujar Bhima.
Dia menegaskan para pedagang pakaian thrifting di Pasar Senen dan sejumlah pasar daerah lainnya bukanlah importir, tetapi hanya pedagang eceran yang perlu mendapatkan bantuan. Menurut dia, penindakan yang saat ini dilakukan justru hanya akan memberikan tekanan terhadap pendapatan pedagang kecil.
“(Seharusnya) lebih kepada kompensasi untuk pedagang kecil thrift sehingga ada win-win solution,” tutur Bhima.
Baca Juga: Polisi Ungkap Kasus Pembunuhan Pedagang Bubur di Boyolali, Pelaku Ternyata Keponakan Korban
Staf Khusus Menteri Koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) Fiki Satari menyatakan, pemerintah melarang praktik impor pakaian bekas, bukan thrifting.
Pihaknya tengah melakukan kajian mendalam terkait dampak, membuka hotline pengaduan dari UMKM terdampak dan merumuskan solusi-solusi bagi UMKM terdampak.
Ia mengakui, impor pakaian bekas ilegal ini dampaknya masif. Seperti kehilangan potensi serapan 67 ribu tenaga kerja dengan total pendapatan karyawan Rp 2 triliun per tahun. Kehilangan potensi PDB multi-sektor industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sebesar Rp 11,83 triliun per tahun.
Sementara itu, kerugian negara pada sektor pajak sekitar Rp 6,2 triliun (Pajak Rp1,4 triliun dan Bea Cukai Rp 4,8 triliun). Tak hanya itu, potensi bencana ekologis juga sangat besar karena sebagian besar produk impor pakaian bekas ilegal itu tidak terjual dan jadi sampah tekstil. Contoh kasus di Kenya yang mencapai 150-200 ton limbah tekstil per hari dan gunung sampah Atacama di Chile karena tumpukan pakaian bekas impor.
"Begitu juga dengan potensi dampak kesehatan seperti hasil Balai Pengujian Mutu Barang ditemukan bakteri E-coli, S. Aureus sampai jamur kapang dan khamir," kata Fiki.
Selain itu, kata dia, KemenKop-UKM berkomitmen mendampingi dan menyiapkan UMKM fesyen lokal sebagai substitusi barang jualan. Mereka juga meminta e-commerce dan socio-commerce (iDEA, Tokopedia, Lazada, Shopee, Blibli, Google, Youtube, Tiktok dan Meta) untuk menghentikan penayangan konten dan penjualan produk impor pakaian bekas.