“Iya, tetap saja, tidak usah lah.”
“Tidak, kasus ini akan diungkap sampai ke Mabes Polri dan Presiden Jokowi!”
Afrizal mulai keder. Dia berjanji berkonsultasi dengan penyidik di Mabes Polri untuk menentukan proses selanjutnya dalam kasus Bahrul.
“Kalau kata mabes setop, ya kami setop,” janji Afrizal.
Setahun berlalu sejak perdebatan itu, Bahrul tak kunjung mendapat kabar nasib kasus dirinya.
Dia tak masuk ke sel tahanan. Tapi kasusnya juga tak jelas juntrungannya. Dalam hati, Bahrul masih khawatir.
“Tidak ada SP3, sewaktu-waktu bisa jadi bola panas lagi,” pikir Bahrul, risau.
***
SELASA MALAM 28 Juli 2020, Bahrul ikut larut dalam keriuhan diskusi dalam grup WhatsApp berisi enam orang.
Mereka bergaduh perihal pemberian gelar Srikandi Cut Nyak Cahaya Jeumpa kepada seorang perempuan bernama Rizayati.
Penganugerahan gelar dilakukan ulama kharimastik Aceh, Teungku Muhammad Amin alias Abu Tamin serta tokoh adat Biereun, Teungku Muhammad Yusuf di Kompleks Makam Raja Jeumpa, Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.
Rizayati dianugerahi gelar Srikandi Cut Nyak Cahaya Jeumpa karena dinilai berjasa terhadap sesama melalui kerja-keja sosial serta kemanusiaan—terutama saat pandemi Covid-19.
Bahrul tidak tahu menahu jatidiri perempuan tersebut. “Siapa dia ini?” kata Bahrul di grup percakapan.
Rabu esoknya, pertanyaan Bahrul baru terjawab ketika ia melihat halam satu koran Serambi Indonesia, yang memuat profile Rizayati.
Dia lalu memotret halaman depan koran lokal Aceh itu dan mengirimkannya ke seorang temannya yang merupakan serdadu.