KUHP Baru, Beredel Pers Gaya Baru?

Selasa, 18 April 2023 | 15:20 WIB
KUHP Baru, Beredel Pers Gaya Baru?
[Suara.com/Ema Rohimah]

“Saya juga enggak menyangka,” jawab Afrizal.

“Di surat kan sudah jelas, saya diminta ke sini untuk penyelesaikan secara musyawarah, restorative justice!”

“Iya, tapi pelapor tidak mau. Dia hanya mau bertemu di pengadilan.”

Dalam surat yang dibacakan, Rizayati intinya menolak dimediasi dan meminta perkaranya berlanjut ke meja hijau.

“Ini tidak benar. UU Pers menjamin kebebasan saya menulis. Ada juga MoU Dewan Pers dengan Polri. Lalu ada SKB, kok saya masih diproses?” protes Bahrul.

Undang-undang yang dimaksud Bahrul adalah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Salah satu isinya menjamin jurnalis bekerja bebas menghasilkan produk jurnalistik.

Sementara momerandum of understanding yang dimaksudnya itu adalah nota kesepahaman Dewan Pers dengan Polri bernomor 2/DP/15/II/2017, berisi aturan polisi akan mengarahkan penyelesaikan pers delict ke Dewan Pers, bukan ranah pidana.

Sedangkan SKB adalah surat keputusan bersama soal pedoman kriteria implementasi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Transaksi Informasi dan Elektronik, yang mengatur produk jurnalistik tidak masuk pelanggaran ITE.

Namun, Afrizal menyanggah semua penjelasan Bahrul. Sebagai polisi, dia harus memproses sesuai pengaduan.

Baca Juga: Ancaman Hukuman Pemalsu QRIS di Masjid yang Pelakunya Berhasil Diamankan Polisi : Penjara 4 Tahun Siap Menanti !

“SKB itu enggak bisa, lebih rendah itu dari undang-undang.”

“Bapak bilang SKB itu enggak ada gunanya ya? Oke, pegang itu. Saya catat!”

Bahrul kembali meradang. “Sudah begini saja. Kalau bapak memang ngotot mau memenjarakan saya, buka pintu sel sekarang. Saya masuk sekarang juga.”

“Kalau saya ditahan, saya yakin kawan-kawan jurnalis dari Sabang sampai Merauke turun ke jalan,” tambahnya.

“Jangan, anarkis itu,” sergah Arizal.

“Kok anarkis, kami demonstrasi damai.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI