"Demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".
Akhirnya berdiri pemerintahan sementara, dengan Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI, atau setara dengan presiden, dan memiliki beberapa menteri dalam kabinet tersebut.
Keberadaan PDRI yang berada di suatu lokasi daerah Sumatera Barat itu kemudian diakui menjadi pemerintahan Republik Indonesia yang sah meski Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta.
Namun, 'masa pemerintahan' Presiden Sjafrudin Prawirangara sebagai pemimpin negara tidak berlangsung lama. Pada 13 Juli 1949, Sjafruddin menyerahkan mandat kembali kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta.
Namun hingga kini Sjafruddin tidak diakui sebagai 'Presiden Indonesia'. Dalam sebuah artikel di Harian Pelita pada 6 Desember 1978 seperti dikutip Historia.id, ia mengungkapkan alasannya tidak menggunakan jabatan presiden dan lebih memilih ketua.
"Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden Republik Indonesia tetapi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia? Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui mandat Presiden Sukarno, dan karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati… Tapi andai kata saya tahu tentang adanya mandat tersebut niscaya saya akan menggunakan istilah ‘Presiden Republik Indonesia’ untuk menunjukkan pangkat dan jabatan saya."
Sjafruddin Prawiranegara mengembuskan napas terakhirnya pada 15 Februari 1989. Ia meninggal dunia di Jakarta pada usia 77 tahun. Pemerintah RI menetapkan Syafruddin sebagai pahlawan nasional pada 7 November 2011.