Merajut Jaring Pengaman Pekerja Rentan: Membangun Aksi Kolektif Perkuat Jaminan Sosial

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Selasa, 21 November 2023 | 13:43 WIB
Merajut Jaring Pengaman Pekerja Rentan: Membangun Aksi Kolektif Perkuat Jaminan Sosial
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif saat aksi. (Dok. SINDIKASI/Setyo Saputro)

Dalam riset ‘Kerja Layak: Survei tentang Kondisi Pekerja Media dan Industri Kreatif di Indonesia’ tahun 2021, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menemukan bahwa sebanyak 13,2 persen pekerja di survei ini mengaku memiliki disabilitas. Sebagian besar di antaranya mengalami disabilitas mental, yaitu gangguan kecemasan (76 persen), depresi (48 persen), bipolar (16 persen), dan gangguan kepribadian (16 persen).

Survei tersebut juga menemukan bahwa rata-rata jumlah hari kerja responden adalah 21 hari dalam sebulan dengan 5 hari kerja dalam seminggu. Meskipun begitu, persentase responden dengan jumlah hari kerja lebih dari 22 hari per bulan cukup besar, yakni 41,2 persen.  Sementara, rata-rata jam kerja responden dalam seminggu adalah 44 (44,1) jam.

Padahal, bila merujuk pada Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU No. 13/2003 jo. UU No. 21/2020 dan pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 35/2021, batas waktu kerja yang diatur adalah 7-8 jam dalam sehari untuk 6-5 hari kerja atau 40 jam kerja dalam seminggu.

Ini menunjukkan bahwa rata-rata responden bekerja di atas batas wajar yang diatur oleh pemerintah yakni 40 jam per pekan.

“Temuan ini mengkonfirmasi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut sebanyak 31,98 persen pekerja kreatif mengalami overwork karena bekerja lebih dari 48 jam per pekan,” ujar Majelis Pertimbangan Organisasi SINDIKASI, Ikhsan Raharjo. 

Di tengah situasi tersebut, survei yang sama juga menemukan bahwa 73 persen responden merasa khawatir dengan kondisi kerjanya karena tidak memiliki jaminan sosial dari tempat kerja mereka. Jika dilihat lebih dalam, hanya sebagian kecil atau kurang dari 30 persen yang memiliki  jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.

Memperkuat Pekerja Rentan

Aksi massa di MH Thamrin. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)
Aksi massa di MH Thamrin. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)

Situasi tersebut yang membuat SINDIKASI sejak tahun 2017 terus mengadvokasi jaminan sosial bagi pekerja kreatif, terutama yang memiliki hubungan kerja sebagai pekerja lepas atau freelancer. Ketiadaan jaminan sosial bagi pekerja lepas menambah pelik problem yang dihadapi pekerja masa kini. 

“Kondisi ini tentu membuat teman-teman freelancer menjadi semakin rentan di tengah dunia kerja saat ini,” ujar Ikhsan. 

Baca Juga: Berhasil Tingkatkan Kualitas Layanan Digital, BPJamsotek Raih Penghargaan di Ajang ICXC 2023

Ketiadaan kontrak yang jelas, dan hubungan kerja yang relatif pendek ini, menempatkan pekerja kreatif, terutama yang berstatus sebagai freelancer sebagai pekerja prekariat. 

Peneliti, Purusha Research Cooperative, Hizkia Yosias Polimpung pernah menulis, bahwa secara umum, prekariat banyak diartikan sebagai “pekerja yang tidak menentu”: jam kerjanya, kontrak kerjanya, jaminan kerjanya, lingkup kerjanya. 

Ia merujuk buku yang ditulis oleh Guy Standing, The Precariat: the New Dangerous Class. Prekariet adalah paduan dari precarious (rentan) dan proletariat (kelas pekerja). Singkatnya, prekariat ialah pekerja yang berada pada kondisi rentan.

SINDIKASI mengawali advokasinya dengan meluncurkan kertas posisi ‘Kerja Keras Menukar Waras’ di awal tahun 2018. Dokumen ini, menurut Ikhsan, berusaha membongkar kerentanan yang dialami oleh pekerja kreatif dan media yang berdampak pada kesehatan mental. Kertas posisi ini sekaligus juga mendorong agar masalah kesehatan mental masuk ke dalam bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). 

Advokasi itu berbuah hasil. Di tahun yang sama, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Aturan itu mengakui adanya kaitan antara lingkungan  kerja dan kondisi kesehatan jiwa pekerja. 

Dalam aturan tersebut, pemerintah juga merumuskan adanya "potensi bahaya faktor psikologi" di dunia kerja yang antara lain diakibatkan ketidakjelasan pekerjaan, beban kerja berlebih, dan masalah pengembangan karier.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI