Mirisnya lagi, tidak hanya pejabat setingkat menteri, Presiden Jokowi pun dituding bakal berkampanye dengan menggunakan fasilitas yang tentu tidak diperbolehkan berdasarkan aturan negara.
Sejumlah temuan dugaan keterlibatan penggunaan fasilitas negara ini misalnya, ada menteri yang menggunakan pesawat militer, mobil dinas yang dipakai untuk kepentingan kampaye mereka.
Temuan lainnya ialah bagaimana lembaga penyelenggara, sekaligus pengawas pemilu yang seharusnya independen pun diduga menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan. Dengan kata lain, instrumen yang diharapkan bisa menjadi tonggak perwujudan proses demokrasi malah tidak netral.
Misalnya dalam kasus verifikasi partai politik tertentu, yang kemudian diputarkan rekaman via telepon yang mendengarkan adanya kongkalikong dalam proses tersebut.
Hal paling mencolok ialah saat mengulas Ketua MK Anwar Usman yang memberikan situasi perlakuan beda kepada syarat usia calon presiden (Capres).
Muncul konflik kepentingan dalam ayat-ayat keputusan lembaga tertinggi konstitusi tersebut. Bagaimana sikap-sikap hakim di lembaga terhormat tersebut berubah dalam satuan waktu yang sangat cepat.
Di awal, film ini pun mengungkap bagaimana instrumen politik transaksional antar elit politik, seperti halnya penunjukkan pejabat (PJ) setingkat gubernur, wali kota dan bupati.
Sejumlah kasus diulas seperti penunjukkan Tito Karnavian sebagai Pejabat Gubernur Papua, pelanggaran Pakta Integritas Bupati Sorong, adanya intimidasi perangkat desa agar mendukung paslon tertentu
Ketiga pemeran film sepakat adanya perubahan keputusan di satu hari yang sama, hanya berbeda beberapa jam. Sampai disebutkan rencana keputusan MK berubah hanya dari dalam satuan waktu sebelum dan sesudah makan siang di hari yang sama.
Di akhir film, Bivitri Susanti menutupnya dengan pernyataan menohok.