"Peristiwa tersebut tidak hanya menggemparkan seluruh lapisan masyarakat Arab saja, tetapi juga pemerintah kolonial dan kaum nasionalis," tulisnya dalam artikel tersebut.
Saat itu, masyarakat Arab peranakan dan totok pada umumnya menentang, sebagian lainnya memilih menunggu dan sebagian lainnya bersimpati.
Golongan yang menaruh simpati tersebut jumlahnya sedikit. Kebanyakan mereka berdiri netral di antara Al-Irsyad dan Arrabitah, ada tokohnya ada pula
peranakannya.
"Pihak Al-Irsyad dan Arrabitah seolah-olah bergandengan tangan menghadapi 'persatuan' baru yang dianggap berbahaya itu."
Meski diinisiasi Arab peranakan, PAI yang telah berubah menjadi partai politik dengan cepat berkembang.
Dua tahun setelah berubah bentuk menjadi partai, tepatnya di Tahun 1939, PAI masuk dalam politik nasional, bergabung dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Gerakan GAPI sendiri lebih kepada tuntutan 'Indonesia Berparlemen'.
Selain itu, PAI juga diterima dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang merupakan federasi dari seluruh partai dan perkumpulan Islam.