Suara.com - Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menilai adanya gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap SK Kemenkumham soal perpanjangan masa bakti kepengurusan partainya, yakni sebagai upaya yang berlebihan.
Menurutnya, gugatan itu seperti upaya penyerangan kepada partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
"Soal SK perpanjangan kepengurusan PDIP yang digugat ke PTUN, Kami menganggapnya sebagai sebuah langkah politik yang keterlaluan, ini bukan upaya hukum murni," kata Deddy dalam keterangannya diterima Suara.com, Selasa (10/9/2024).
"Tidak ada kerugian apapun, baik moril maupun materil bagi penggugat. Gugatan ini lebih kelihatan sebagai upaya 'penyerangan' terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)."
Menurutnya, gugatan tersebut menjadi aneh lantaran para advokat yang menanganinya diduga terafiliasi dengan satu partai politik tertentu.
"Proses perpanjangan kepengurusan DPP PDI Perjuangan tersebut sudah dikaji dengan sangat mendalam terhadap aturan dan konstitusi partai. Perpanjangan kepengurusan juga sudah melalui proses pembahasan dan pengkajian hukum di Kemenkumham," ujarnya.
Ia mengatakan, jika logika para penggugat tersebut diikuti, maka seluruh produk dan konsekuensi hukumnya sangat besar.
"Karena tahun 2019, PDI Perjuangan mempercepat Kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk menyesuaikan dengan agenda politik nasional pada saat itu," katanya.
"Jika memakai logika penggugat, maka SK DPP PDI Perjuangan yang dikeluarkan paska percepatan kongres itu jadi tidak sah. Termasuk keputusan DPP PDI Perjuangan menyangkut pemilihan kepala daerah saat itu. Kalau begitu, akan terjadi krisis kenegaraan," sambungnya.
Baca Juga: Puan Benarkan Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati Sebelum Pelantikan, PDIP Siap Gabung Pemerintah?
Ia lantas mencontohkan implikasi besar jika para penggugat diikuti.
"Contoh, Gibran Rakabuming itu jadi Wali Kota Solo dengan menggunakan SK DPP PDI Perjuangan yang dipercepat kongresnya. Kalau keputusan DPP saat itu cacat hukum, jadi Gibran adalah produk cacat hukum. Artinya dia harus dianulir sebagai cawapres terpilih di 2024."
"Karena untuk menjadi Cawapres, dia harus memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Kalau keputusan PDIP pasca percepatan kongres tak sah, maka Gibran pun tak sah. Demikian pula dgn seluruh produk hukum pilkada 2020 di seluruh Indonesia," ujarnya.
Untuk itu, ia mengatakan, adanya gugatan yang sesat tersebut harus dihentikan.
"Maka sesat logika ini harus dihentikan dan tidak boleh difasilitasi, apalagi kalau motivasinya adalah politik. Saya sarankan agar para otak kotor, atau mastermind dan dalang dari upaya sabotase PDI Perjuangan ini, untuk berpikir panjang dan tidal usah cari masalah," katanya.
Sebelumnya, Sejumlah empat orang kader PDI Perjuangan (PDIP) yakni Pepen Noor, Ungut, Ahmad dan Endang Indra Saputra melayangkan gugatan terhadap Kementerian hukum dan HAM (Kemenkumham) RI atas pengesahan kepengurusan DPP PDIP masa bakti 2019-2024 yang diperpanjang hingga tahun 2025.