Namun, alih-alih mendapatkan respons positif dari pasar, Rocky mencatat bahwa bank-bank BUMN yang diduga menjadi penyokong utama modal Danantara justru mengalami tekanan di pasar saham.
“Yang paling cepat tentu melalui lalu-lalang finansial dunia, termasuk keluarnya investasi atau portofolio saham, segala macam jenis sekuritas di pasar modal kita. Jadi pengkondisian politik yang buruk hari ini dibaca sebagai faktor disinvestasi bagi para pemodal,” jelasnya.
Selain reaksi pasar, Rocky juga menyinggung gelombang protes dari kalangan akademisi yang tergabung dalam Seruan Salemba Kedua sebagai indikator lain dari ketidakstabilan politik.
Menurutnya, kritik dari kampus dan akademisi merupakan pertanda awal dari potensi gerakan politik yang lebih luas.
"Seruan Salemba Kedua yang diinisiasi oleh para akademisi, dosen, dan para guru besar itu penanda bahwa kemampuan politik untuk membungkus kesalahan-kesalahan rezim sebelumnya itu terbaca lalu diuraikan sebagai protes oleh kalangan akademis. Dan protes kalangan akademisi selalu bisa berakibat protes politik yang meluas,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa dalam kondisi seperti ini, masyarakat akan kembali pada kesadaran moral dan hati nurani untuk menilai jalannya pemerintahan.
“Keutuhan hati nurani itu biasanya dimiliki oleh kalangan kampus, kalangan intelektual,” katanya.
Seiring dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu dan tekanan politik yang terus meningkat, tantangan Prabowo dalam 100 hari pertama kepemimpinannya semakin besar.
Sinyal positif dari pemerintah diperlukan untuk meyakinkan pasar dan investor bahwa Indonesia berada di jalur yang stabil.
Baca Juga: Rocky Gerung: Prabowo Mulai Diisolasi, Cawe-cawe Jokowi Masih Kuat di Kabinet
Kebijakan yang lebih jelas dan konkret dalam memisahkan diri dari bayang-bayang pemerintahan sebelumnya menjadi salah satu faktor yang dapat membantu mengembalikan kepercayaan publik dan investor.