Pada Jumat (4/4), Presiden AS Donald Trump mengumumkan akan menandatangani perintah eksekutif yang memberi waktu 75 hari bagi TikTok untuk terus beroperasi di Amerika, sambil menunggu kelanjutan proses negosiasi akuisisi.
Keputusan ini menjadi jeda penting di tengah tarik-menarik antara kepentingan bisnis, regulasi, dan geopolitik.

Pada hari yang sama, ByteDance mengeluarkan pernyataan resmi bahwa pihaknya masih berdiskusi dengan pemerintah AS untuk mencari solusi terbaik terkait masa depan TikTok di wilayah Amerika.
Dengan jutaan pengguna aktif dan pengaruh besar dalam industri media sosial global, nasib TikTok kini menjadi simbol pertarungan kekuatan ekonomi dan teknologi antara dua raksasa dunia.
Di tengah ketidakpastian ini, publik dan pelaku industri digital menanti apakah kesepakatan kompromi benar-benar akan tercapai, atau justru TikTok akan menjadi korban terbaru dari perang dagang yang belum usai.
Sementara itu, dinamika politik dan ekonomi global kian memanas setelah Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif pada Rabu lalu yang menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen terhadap seluruh barang impor yang masuk ke Amerika Serikat.
Kebijakan ini dijadwalkan mulai berlaku pada 5 April dan menjadi pukulan telak bagi mitra dagang utama AS, terutama China.
Tak hanya itu, Trump juga mengumumkan bahwa tarif yang lebih tinggi dan bersifat resiprokal akan diterapkan mulai 9 April bagi negara dan wilayah yang memiliki defisit perdagangan terbesar dengan AS.
Kebijakan tarif ini dianggap sebagai langkah tegas dalam upaya meredam ketimpangan neraca perdagangan yang selama ini menjadi sorotan utama pemerintahan Trump.
Baca Juga: Masa Depan TikTok di AS: Dijual, Diblokir, atau Dimiliki Bersama?
Namun, keputusan tersebut tampaknya membawa konsekuensi serius terhadap kesepakatan bisnis lintas negara yang sensitif, termasuk rencana restrukturisasi operasional TikTok di Amerika Serikat.