"Sebagai aset berisiko, mata uang kripto umumnya diperdagangkan dengan buruk selama periode ketidakpastian menyusul pengumuman seperti ini," ujarnya.
Tak hanya kripto, pasar saham AS juga ikut terdampak. Dana indeks SPY yang melacak S&P 500 turun sekitar 2,5 persen dalam perdagangan pasca-jam, menghapus reli yang sempat terbentuk sebelumnya.
Ben Kurland, CEO platform riset kripto DYOR, menilai bahwa penurunan ini bukan semata karena tarif, melainkan karena meningkatnya ketidakpastian yang dipicu oleh kebijakan.
“Para pedagang membenci ketidakpastian, dan ini menandakan akan ada lebih banyak ketidakpastian yang akan datang,” katanya.
Di tengah tekanan ini, emas justru menguat signifikan dan mencapai rekor hampir $3.160 per ons, atau sekitar Rp50,5 juta.
Emas batangan menjadi salah satu dari sedikit komoditas yang dikecualikan dari tarif, menurut Gedung Putih. Meskipun Bitcoin kerap dipandang sebagai “emas digital”, aset ini masih menunjukkan kerentanan di tengah gejolak selama setahun terakhir.
Rachael Lucas, analis kripto dari BTC Markets, mengatakan bahwa pergerakan selanjutnya untuk Bitcoin sangat bergantung pada dinamika geopolitik dan respons kebijakan.
“Langkah besar berikutnya bergantung pada geopolitik, perubahan kebijakan, dan apakah pedagang melihat Bitcoin sebagai risiko atau tempat berlindung,” jelasnya.
Lucas menambahkan bahwa $80.000 (Rp1,28 miliar) kini menjadi titik penting yang "harus dipertahankan" oleh Bitcoin agar tidak memicu aksi jual lanjutan.
Baca Juga: Lindungi Aset Digital, Cloudflare Perkenalkan Firewall AI untuk Bisnis Modern