Anak Buahnya Dipecat Usai Digrebek Warga Saat Selingkuh, KPU RI Buka Suara

Selasa, 29 April 2025 | 16:17 WIB
Anak Buahnya Dipecat Usai Digrebek Warga Saat Selingkuh, KPU RI Buka Suara
Ketua KPU Mochammad Afifuddin. [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin, menanggapi kasus perselingkuhan yang melibatkan Ketua KPU Kabupaten Kaur Muklis Ariyanto yang berujung pada sanksi pemberhentian oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Afif mengaku menghormati putusan tersebut. Namun, dia menjelaskan bahwa KPU RI sudah menjelaskan kepada jajarannya di daerah untuk menghindari perbuatan tercela, termasuk perselingkuhan, perzinahan, dan kekerasan seksual.

Selain itu, Afif juga menegaskan bahwa pihaknya sudah memiliki mekanisme internal untuk mengatur jajaran anggota KPU yang terlibat kasus dugaan kekerasan seksual.

“Tentu ya ini tidak hanya penyelenggara ya selain penyelenggara hal-hal seperti ini juga mungkin terjadi,” kata Afif di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2025).

“Pada intinya, kami punya mekanisme di internal juga untuk kemudian satgas antikekerasan seksual dan seterusnya itu sudah kita bikin pos posnya juga di pengaturannya juga ada. Mudah mudahan sudah nggak ada lagi lah,” tambah dia.

Sekadar informasi, DKPP menjatuhkan dua sanksi sekaligus kepada Ketua KPU Kabupaten Kaur, Muklis Ariyanto, dalam sidang pembacaan putusan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP).

“Menjatuhkan sanksi Peringatan Keras dan Pemberhentian dari Jabatan Ketua kepada teradu I, Muklis Ariyanto, selaku Ketua merangkap Anggota KPU Kabupaten Kaur terhitung sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua Majelis Heddy Lugito di Ruang Sidang DKPP, Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025).

Muklis disebut terbukti berada di rumah Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Tanjung Kemuning, Hensi Handispa yang berstatus sebagai teradu II dalam perkara ini, pada dini hari. Hal tersebut diketahui oleh warga setempat dan mengakibatkan kegaduhan.

“Meskipun tidak ditemukan alat bukti yang nyata perihal dugaan perselingkuhan antara teradu I dengan teradu II, DKPP menilai fakta berdasar saksi-saksi dapat menjadi petunjuk bahwa benar pada malam tanggal 1 Juli 2024 hingga dini hari 2 Juli 2024, teradu I dan teradu II berada di rumah yang sama,” tutur Anggota Majelis Ratna Dewi Pettalolo.

Baca Juga: Kuasa Hukum Bantah Keaslian Foto Ridwan Kamil dan Lisa Mariana Saat Main Kartu: Itu AI!

“Tindakan teradu II tidak menghiraukan Ketua RT saat berada di rumahnya telah menimbulkan syak wasangka warga sekitar dan menimbulkan keyakinan telah terjadi hal-hal yang tidak sepatutnya di rumah teradu II,” tambah dia.

Untuk itu, Muklis dan Hensi dinyatakan terbukti melanggar pasal 6 ayat (3) huruf c dan f; pasal 12 huruf a; dan pasal 15 huruf a Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Dalam sidang putusan ini, Hensi dijatuhi sanksi Peringatan Keras oleh DKPP.

Puluhan Kasus

Sebelumnya Founder Themis Law Firm, Feri Amsari, mengungkap adanya kasus kekerasan seksual pada tahun 2023 oleh penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu). Namun, dugaan pelanggaran hukum ini tak pernah diusut sampai tuntas.

Feri mengatakan, biasanya persoalan penyelenggara Pemilu yang mencakup Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini hanya mencakup masalah teknis. Masalah etik dan tingkah laku kerap kali tak menjadi sorotan.

"Sebagai sebuah gambaran, penyelenggara pemilu kita di tahun 2023 melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan di 54 kasus," ujar Feri dalam diskusi di Jakarta Selatan, Senin (28/4/2025).

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari turut menyoroti soal tuntutan dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengenai pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan wakil presiden (wapres). (Suara.com/Fakhri Fuadi)
Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari turut menyoroti soal tuntutan dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengenai pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan wakil presiden (wapres). (Suara.com/Fakhri Fuadi)

Pakar Hukum Tata Negara ini mengaku belum memiliki data lengkap untuk tahun 2024. Namun, ia meyakini jumlah kasus kekerasan seksual tahun itu lebih banyak karena bertepatan dengan pelaksanaan Pemilu.

"Saya jadi mulai ragu ini penyelenggara pemilu atau Kakek Sugiyono (pemain film dewasa asal Jepang), enggak tahu saya," jelasnya.

Banyaknya kasus kekerasan seksual, kata Feri, menjadi bukti penyelenggaraan Pemilu di Indonesia belum dilaksanakan secara profesional.

"Jumlah ini menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu kita bukanlah penyelenggara pemilu profesional. Belum lagi kalau kita bicara ketidakprofesionalan di verifikasi faktual," jelasnya.

Kasus kekerasan seksual ini terjadi di tingkat pusat dan daerah. Hal ini dikatakannya menjadi bukti evaluasi menyeluruh perlu dilakukan pada penyelenggara Pemilu.

Di satu sisi, ia juga menyebut orang-orang yang terlibat sebagai penyelenggara Pemilu tak terseleksi dengan baik. Dengan sengaja, sosok yang dipilih sudah bermasalah dari awal agar bisa dikendalikan lebih mudah.

"Kan ada beberapa indikasi sedari awal ketika proses seleksi. Misalnya pelaku kekerasan seksual itu cenderung memanipulasi data dirinya," ucapnya.

"Terutama misalnya istrinya dua, dibilang satu. Itu yang kemudian mempertegas bahwa orang-orang seperti ini disengaja juga untuk dipilih sebagai bagian untuk mengatur kepentingan-kepentingan politik," lanjutnya menambahkan.

Karena itu, ia mendesak agar DPR segera melakukan revisi pada Undang-Undang Pemilu. Tujuannya agar berbagai persoalan Pemilu bisa diatasi lewat aturan yang jelas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI