Fadli Zon menilai bahwa penulisan sejarah Indonesia selama era Orde Baru hingga Reformasi masih sarat kepentingan politik dan belum sepenuhnya menggambarkan keragaman serta kompleksitas perjalanan bangsa.
Ia kemudian mengusulkan perlunya 'rekonstruksi sejarah' sebagai bagian dari agenda dekolonisasi narasi dan penguatan identitas nasional yang lebih inklusif.

Rencana ini mencakup revisi kurikulum sejarah nasional, digitalisasi arsip dan dokumen sejarah alternatif, serta pelibatan sejarawan independen dan komunitas budaya lokal dalam penulisan ulang sejarah.
Kementerian juga ingin meninjau kembali narasi-narasi sejarah terkait peristiwa besar seperti 1965, perlawanan lokal terhadap penjajahan, serta peran perempuan, kelompok adat, dan minoritas dalam perjuangan kemerdekaan.
Namun, inisiatif ini tidak lepas dari kritik. Sebagian pihak khawatir langkah ini justru dapat membuka ruang bagi politisasi sejarah yang baru, terutama karena latar belakang ideologis Fadli Zon dan afiliasinya dengan kekuatan politik tertentu.
Sementara di sisi lain, ada pula kekhawatiran bahwa narasi sejarah yang dibangun ulang akan dimanfaatkan untuk membingkai ulang identitas nasional secara sempit dan eksklusif.