Suara.com - Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, kembali menegaskan pentingnya perlindungan ekosistem gambut dan mangrove, khususnya di kawasan Kalimantan, sebagai langkah strategis menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengatasi perubahan iklim.
Dalam kunjungannya ke Desa Peniraman, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat pada Minggu (18/5), Hanif meninjau langsung kesiapan Desa Mandiri Peduli Gambut menghadapi musim kemarau yang rawan kebakaran.
“Kawasan gambut Kalimantan Barat mencakup sekitar 2,4 juta hektare dan memainkan peranan besar dalam menyerap karbon dioksida. Jika rusak atau terbakar, dampaknya tidak dapat dipulihkan lagi,” tegas Hanif, dilansir ANTARA, Selasa (20/5/2025).
Gambut: Menyimpan Karbon Dua Kali Lebih Banyak dari Hutan
Lahan gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang tidak terurai sempurna selama ribuan tahun. Meski hanya mencakup sekitar 3% permukaan bumi, gambut menyimpan dua kali lipat karbon dibandingkan seluruh hutan di dunia. Itu sebabnya, gambut disebut sebagai "penjaga iklim alami" yang vital bagi keseimbangan ekosistem global.
Namun, aktivitas manusia seperti drainase, konversi lahan, dan kebakaran membuat ekosistem ini sangat rentan. Saat gambut mengering, ia melepaskan cadangan karbon yang tersimpan ke atmosfer dalam bentuk CO. Bahkan, penurunan muka air tanah 10 cm saja dapat menghasilkan emisi sekitar 9–13 ton CO per hektare per tahun.
Dampak Nyata: Emisi Meningkat, Iklim Semakin Tak Stabil
Rusaknya lahan gambut berarti semakin tingginya emisi karbon. Proses dekomposisi yang cepat akibat oksidasi, serta kebakaran lahan gambut, turut menyumbang lonjakan emisi GRK secara signifikan. Indonesia, dengan luas lahan gambut tropis terbesar di dunia, menjadi sorotan dunia setiap kali musim kebakaran tiba.
Konsekuensi perubahan iklim pun nyata:
Baca Juga: BAF Donasikan 21 Ribu Bibit Mangrove, Ciptakan Kualitas Udara Lebih Baik
- Suhu global meningkat
- Curah hujan menjadi tak menentu
- Permukaan air laut naik
- Ekosistem terganggu, produktivitas pertanian menurun
Langkah Konkret: Dari Rewetting hingga Sertifikasi Karbon
Upaya restorasi lahan gambut menjadi mutlak. Hanif menyebut pentingnya kolaborasi multipihak—pemerintah, masyarakat, sektor swasta, dan akademisi—dalam menjaga kelestarian gambut dan mangrove.
Beberapa solusi strategis:
- Rewetting atau pembasahan kembali lahan gambut untuk menjaga kelembapan dan mencegah dekomposisi.
- Revegetasi, yaitu menanam kembali vegetasi asli untuk mengembalikan fungsi ekologis gambut.
- Sertifikasi penyerapan karbon untuk memberikan insentif ekonomi bagi desa dan pelaku usaha yang menjaga kelestarian lingkungan.
“Sekitar 800 desa di Indonesia berada di kawasan gambut. Desa-desa ini harus segera memperoleh sertifikat karbon yang memberi nilai ekonomi sekaligus mendukung komitmen Indonesia terhadap iklim,” ujar Hanif.
Peran Mangrove Tak Kalah Penting
Selain gambut, ekosistem mangrove juga menjadi fokus utama. Mangrove mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar dan melindungi pesisir dari abrasi. Namun, seperti gambut, keberadaannya juga terancam oleh alih fungsi lahan dan pembangunan pesisir yang tidak berkelanjutan.
Program seperti Desa Mandiri Peduli Gambut menjadi contoh bagaimana pendekatan berbasis masyarakat dapat menghasilkan dampak ganda: lingkungan terjaga dan ekonomi masyarakat ikut tumbuh.
Menuju Indonesia Bebas Emisi
Melalui langkah-langkah mitigasi dan restorasi, serta penguatan regulasi seperti PP No. 71/2014 dan Perpres No. 120/2021 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Indonesia menunjukkan komitmen kuat menuju target emisi karbon sesuai Nationally Determined Contribution (NDC).
“Menjaga kawasan gambut dan mangrove untuk masa depan yang lebih baik adalah komitmen kita demi keberlanjutan lingkungan dan generasi mendatang,” pungkas Hanif.
Dengan perlindungan serius terhadap lahan gambut dan mangrove, Indonesia bukan hanya menjaga paru-paru dunia, tapi juga memastikan masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.