"Saya kira ini menjadi tantangan dan menghambat produktivitas mereka," ujarnya.
Pihaknya mendesak pemerintah untuk semakin menerapkan ekonomi inklusif. Sehingga sektor informal menjadi bagian penting dalam pembangunan basis ekonomi.
Oleh karena itu, pendekatan kebijakan dalam menangani sektor ini perlu memperhatikan karakteristik pekerja informal.
"Formalisasi sektor usaha informal sering kali justru mematikan dan menghambat sektor ini untuk berkembang," ungkap dia.
Sejauh ini pekerja di sektor informal memang memberikan ruang fleksibilitas. Tak ada keterikatan waktu, pekerja informal bisa lebih leluasa mengatur waktu antara bekerja dan urusan pribadinya.
Namun, pekerjaan di sektor ini umumnya tidak memiliki jaminan penghasilan tetap, tidak terikat perlindungan sosial, dan sangat rentan terhadap gejolak ekonomi.
Banyak korban PHK yang banting setir menjadi pedagang kaki lima, tukang parkir, atau driver ojek online, namun penghasilan mereka sering kali tak cukup untuk menutup biaya kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan anak.
Di sisi lain, tak sedikit perusahaan yang mengalami tekanan hebat akibat kondisi ekonomi global, penurunan permintaan, atau disrupsi digital.
Biaya operasional yang tak tertutup pemasukan membuat PHK menjadi pilihan terakhir demi mempertahankan bisnis inti.
Namun, proses PHK yang tidak disertai dengan strategi transisi yang manusiawi justru menciptakan ledakan sosial baru. Para mantan pekerja kehilangan arah tanpa bekal keterampilan baru atau akses terhadap modal.
Pekerja sektor informal memang tangguh, tetapi ketangguhan itu bukan alasan untuk membiarkan mereka berjuang sendirian.
Ketika PHK massal menjadi keniscayaan, maka sudah seharusnya negara hadir lebih aktif. Pemerintah perlu merancang strategi pemulihan yang tidak hanya fokus pada perusahaan besar, tapi juga pada manusianya.