suara hijau

Dibayangi Asap Batu Bara, Transisi Hijau ke Mobil Listrik Jadi Bumerang?

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Rabu, 21 Mei 2025 | 16:58 WIB
Dibayangi Asap Batu Bara, Transisi Hijau ke Mobil Listrik Jadi Bumerang?
Ilustrasi Kendaraan Listrik, Mobil Listrik. (Photo by Daniel Andraski/Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Alih-alih menjadi solusi penyelamat lingkungan, kendaraan listrik (electric vehicle) justru berpotensi menyumbang emisi karbon di beberapa negara, terutama bila listriknya masih bersumber dari bahan bakar fosil.

Temuan mengejutkan ini datang dari studi gabungan Universitas Auckland dan Universitas Xiamen, ketika dunia berlomba-lomba beralih ke kendaraan listrik demi menyelamatkan iklim.

"Temuan ini tampak bertentangan dengan pendapat populer saat ini," ujar Miaomiao Tao, kandidat doktor dari Pusat Energi Sekolah Bisnis, Universitas Auckland, melansir EurekAlert!, Rabu (21/5/2025).

Dalam studi yang dimuat di jurnal Energy tersebut, peneliti menyatakan bahwa kendaraan listrik hanya benar-benar ramah lingkungan bila diisi menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan.

Masalahnya, hingga 2023, energi terbarukan seperti angin, matahari, dan air baru menyumbang sekitar 30 persen dari listrik global. Angka itu masih jauh dari ambang batas 48 persen, tingkat minimum yang menurut studi tersebut diperlukan agar kendaraan listrik mulai efektif mengurangi emisi karbon secara global.

Kendaraan Masa Depan, Listrik Masih dari Batu Bara

Kendaraan listrik kerap diasosiasikan sebagai “kendaraan masa depan” yang ramah lingkungan. Namun, seperti dijelaskan Profesor Stephen Poletti dari Universitas Auckland, logikanya tidak sesederhana itu.

"Bayangkan kendaraan listrik diisi dari listrik yang dihasilkan pembangkit batu bara. Dalam skenario itu, justru emisinya bisa lebih tinggi dibanding mobil bensin modern," ungkap Poletti.

Studi ini menganalisis data dari 26 negara selama 15 tahun, dan menyimpulkan bahwa transisi ke EV harus berjalan beriringan dengan reformasi besar dalam sistem energi. Jika tidak, maka EV hanya memindahkan sumber emisi dari knalpot ke cerobong asap pembangkit.

Baca Juga: Seberapa Menjanjikan Green Jobs Bagi Zilenial, dan Bagaimana Tips Memulainya?

Hingga tahun 2025, PLTU batu bara masih menyumbang sekitar 50% dari total energi listrik Indonesia. Inilah yang membuat batu bara masih menjadi andalan untuk memenuhi beban dasar (base load) kelistrikan nasional.

Di sisi lain, Indonesia tengah mempercepat transformasi ke arah ekonomi hijau dengan fokus pada pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Pemerintah menargetkan 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik beroperasi pada 2030.

“Proyeksi penggunaan EV bisa mencapai 31,1 juta unit pada 2030,” ujar Dendy Apriandi, Direktur Deregulasi Penanaman Modal BKPM, dalam Podcast On The Go di YouTube Suara.com, yang tayang Januari 2025 lalu.

Berbagai insentif pun diberikan, mulai dari subsidi Rp7 juta untuk motor listrik, hingga insentif fiskal dan non-fiskal lainnya bagi kendaraan roda empat. Pemerintah juga mendorong pembangunan ribuan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) untuk mendukung infrastruktur EV.

Namun, survei dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia belum menjadikan EV sebagai kendaraan utama, melainkan hanya tambahan. Artinya, selain infrastruktur, tantangan juga datang dari persepsi dan kesiapan pasar.

Tantangan Pembangunan Ekosistem Kendaraan Listrik

Guna memperkuat ekosistem kendaraan listrik, Indonesia juga mulai membangun industri pendukung seperti pabrik sel baterai di Karawang. Ini penting karena baterai adalah jantung dari kendaraan listrik, dan sekaligus menjadi penentu biaya serta dampak lingkungan EV itu sendiri.

Sampai awal 2025, sejumlah perusahaan besar seperti BYD, Vinfast, Citroen, hingga Volkswagen telah mengajukan izin impor kendaraan listrik ke Indonesia, sesuai Permeninvest No. 6 Tahun 2023. Ribuan unit telah masuk sebagai langkah awal, seiring dorongan pemerintah terhadap investasi sektor ini.

Namun, sebagaimana disoroti oleh studi internasional tersebut, jika listrik yang digunakan untuk mengisi EV masih bergantung pada batu bara, maka dampak lingkungan dari semua upaya ini bisa jadi hanya ilusi.

Kendaraan Listrik Bukan Solusi Hijau

Peneliti juga menemukan bahwa inovasi teknologi ramah lingkungan, peningkatan energi terbarukan, dan perencanaan kota yang kompak jauh lebih berdampak pada penurunan emisi. Pertumbuhan ekonomi, tanpa transformasi energi, justru cenderung meningkatkan emisi karbon.

"Transportasi tidak bisa didekarbonisasi secara terpisah," tegas Poletti. Artinya, kendaraan listrik harus menjadi bagian dari transformasi menyeluruh menuju sistem energi bersih—bukan berdiri sendiri sebagai solusi tunggal.

Dendy menambahkan, kolaborasi lintas sektor akan menjadi kunci untuk mewujudkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Bila dikembangkan secara menyeluruh—dari rantai pasok baterai, jaringan pengisian, hingga bauran energi bersih—EV bisa menjadi tulang punggung ekonomi hijau di masa depan.

Namun hingga saat itu tiba, langkah Indonesia perlu tetap hati-hati. Transisi tidak hanya soal mengganti mesin, tapi juga memastikan sumber energinya benar-benar bersih. Jika tidak, kendaraan listrik hanya akan menjadi solusi semu yang menunda krisis, bukan menyelesaikannya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI