Eks Dirut Sritex Jadi Tersangka: Kredit Macet Rp3,5 Triliun Dipakai Bayar Utang Pribadi?

Jum'at, 23 Mei 2025 | 18:27 WIB
Eks Dirut Sritex Jadi Tersangka: Kredit Macet Rp3,5 Triliun Dipakai Bayar Utang Pribadi?
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar. (Suara.com/Faqih)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kejaksaan Agung mengungkap masalah pemberian kredit kepada PT Sritex yang bersumber dari sejumlah bank ternyata bukan untuk operasional perusahaan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar mengatakan pemberian modal dalam bentuk kredit yang seharusnya dipergunakan untuk modal kerja tapi dimanfaatkan sebagai kepentingan pribadi oleh Eks Direktur Utama PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto.

“Pemberian kredit ini kan harus digunakan untuk modal kerja, operasionalisasi dari perusahaan sehingga perusahaan ini tidak mengalami kondisi tidak baik,” kata Harli di Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Modal kerja semestinya dipergunakan membayar gaji karyawan dan untuk biaya produksi.

“Tetapi kenyataannya kan bahwa yang bersangkutan, ISL justru menggunakan ini untuk hal-hal lain, untuk pembayaran utang,” ujarnya.

Kendati begitu, hingga saat ini penyidik belum mengetahui pasti soal pembayaran utang, apakah utang pribadi atau perusahaan.

“Ini sekarang yang sedang didalami oleh penyidik apakah pembayaran utang perusahaan atau uang pribadi,” ucapnya.

Menurut dia, sesuai ketentuan penggunaan pinjaman kredit digunakan untuk pembayaran utang tidak dapat dibenarkan. Sebab tidak sesuai dengan peruntukan.

“Karena didalam akad atau kontrak pemberian kredit itu sudah disepakati, sudah diperjanjikan bahwa ini dilakukan untuk modal kerja,” ujar Harli.

Baca Juga: Kejagung Beberkan Alasan Sita iPad Pro dan Laptop Apple di Kamar Tahanan Tom Lembong

Penyidik, lanjut Harli juga menemukan indikasi penggunaan uang hasil kredit untuk aset-aset perusahaan yang tidak produktif. Jika PT Sritex dapat mengelola pinjaman kredit sesuai peruntukan tentu perusahaan bakal berjalan dengan baik.

“Kalau ada manajemen yang baik dengan pemberian kredit yang sudah sangat signifikan, barangkali PT Sritex ini akan tetap berada pada perusahaan yang sehat,” katanya.

Harli menuturkan, pada tahun 2020 silam, PT Sritex bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp1,8 triliun. Tetapi pada tahun 2021 itu sudah minus Rp15 triliun lebih.

“Jadi ada deviasi (penyimpangan) yang cukup signifikan, yang barangkali itu menjadi anomali dan pintu masuk bagi kami untuk mengkaji, menganalisa. Kenapa sih harus sampai begitu, makanya ternyata di sana ada juga tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Tiga Tersangka

Tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada Kejaksaan Agung sebelumnya menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit pada PT Sritex.

Ketiga tersangka yakni Eks Dirut PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto, Direktur Utama Bank DKI tahun 2020 Zainuddin Mappa, dan Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata. Sebelum menetapkan tiga tersangka, penyidik telah memeriksa 55 orang saksi.

Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Abdul Qohar mengatakan dalam perkara ini penyidik menemukan adanya indikasi perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) juga PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sritex Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan entitas anak usaha yang ada di bawahnya.

“Tim penyidik pada Jakpidsus Kejagung berdasarkan surat perintah penyidikan telah melakukan atau telah membawa 3 orang tersangka,” kata Qohar di Kejaksaan Agung, Rabu (21/5).

Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya terlebih dahulu diperiksa sebagai saksi. Selain itu penyidik juga telah memeriksa 46 orang saksi.

“Hari ini penyidik juga melakukan pemeriksaan terhadap 9 saksi. Kemudian juga beberapa saat yang lalu penyidik juga telah melakukan pemeriksaan terhadap 1 orang ahli,” jelasnya.

Dari hasil pemeriksaan, petugas kemudian menemukan alat bukti yang cukup untuk menjerat ketiganya.

Dalam perkara ini, penyidik mengindikasi pemberian kredit dari beberapa bank pemerintah kepada PT Sritex. Nilai total outstanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga bulan Oktober 2024 sebesar Rp3,58 triliun.

Jumlah tersebut dirinci; untuk Bank Jateng sebesar Rp395 miliar. Kemudian untuk Bank BJB sebesar Rp543,9 miliar, untuk Bank DKI sebesar Rp149 miliar.

“Kemudian yang keempat, yaitu Bank Sidikasi yang terdiri dari Bank BNI, Bank BRI, dan LPEI, jumlah seluruhnya adalah Rp2,5 triliun,” ungkapnya.

Selain pemberian kredit PT Sritex TBK juga mendapatkan pemberian kredit di bank swasta yang jumlahnya sebanyak 20 bank.

“Ini tidak saya sebut ya karena banyak sekali. Jumlahnya 20 bank,” tuturnya.

Kecurigaan Penyidik

Pada awalnya, Kejagung mencurigai PT Sritex berdasarkan pada keuntungan yang cukup signifikan pada 2021 lalu.

PT Sritex merupakan perusahaan terbatas yang beroperasi di bidang industri tekstil dan produk tekstil dengan komposisi kepemilikan saham yaitu PT Huddleston Indonesia sebesar 59,03 persen, dan masyarakat sebesar 40,97 persen.

Pada 2021 PT Sritex dalam laporan keuangannya memiliki keuntungan mencapai USD 1,08 miliar, jika dikonfersikan ke dalam rupiah saat itu mencapai Rp 15,65 triliun.

Padahal setahun sebelumnya atau pada 2020 silam, keuntungan PT Sritex hanya USD85,32 atau setara Rp1,24 triliun.

“Jadi ini ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan, kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan,” katanya.

“Inilah konsentrasi dari teman-teman penyidik. Kemudian PT Sritex TBK dan entitas anak perusahaannya memiliki kredit nilai total understanding atau tagihan yang belum dilunasi hingga bulan Oktober 2024 sebesar Rp3,588 triliun,” sambungnya.

Pengajuan kredit yang dilakukan oleh PT Sritex diduga melawan hukum lantaran dilakukan tanpa ada analisa yang memadai dan menaati prosedur yang telah diterapkan.

Padahal seharusnya, pemberian kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada perusahaan atau debitor yang memiliki peringkat A.

“Seharusnya dilakukan sebelum diberikan kredit, sehingga perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan standar operasional prosedur bank serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan sekaligus penerapan prinsip kehati-hatian,” tuturnya.

Dia menambahkan, seharusnya Iwan Setiawan selaku Dirut PT Sri Rejeki Isman Tbk mendapatkan dana dari Bank BJB dan Bank DKI terdapat fakta hukum bahwa dana tersebut tidak dipergunakan sebagaimana tujuan dari pemberian kredit yaitu untuk modal kerja. Tapi dana tersebut justru disalahgunakan untuk membayar hutang dan membeli aset non-produktif sehingga tidak sesuai dengan peruntukan.

Kredit yang diberikan oleh Bank BJB dan Bank DKI Jakarta kepada PT Sritex yang saat ini macet dengan olatibilitas 5 dan aset perusahaan tidak bisa dieksekusi untuk menutupi nilai kerugian negara.

“Karena nilai lebih kecil dari nilai pemberian pinjaman kredit serta tidak dijadikan sebagai jaminan atau agunan,” jelasnya.

Sementara itu, Pengadilan Negeri Niaga Semarang melalui putusan nomor perkara 2/PDT.SUS- homologasi/2024/PN Niaga Semarang, PT Sritex dinyatakan pailit.

Maka pemberian kredit setelah melawan hukum tersebut yang dilakukan oleh BJB dan Bank DKI  kepada PT Sritex telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp692 miliar dari total nilai outstanding atau target yang belum dilunasi sebesar Rp3,588 triliun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI