Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia tak hanya dihadapkan pada kompleksnya kemelut sosial-politik, tetapi juga intoleransi dan radikalisme terhadap perempuan yang semakin menajam.
Fenomena tersebut tidak berdiri sendiri. Mereka tumbuh subur di tengah minimnya perlindungan negara terhadap hak-hak dasar warga, meningkatnya konservatisme keagamaan, serta lemahnya edukasi publik soal kesetaraan gender. Dalam konteks ini, perempuan kerap kali menjadi sasaran utama.
Intoleransi Gender Memburu Perempuan dari Ruang Doa hingga Sekolah
Pada Mei 2024, publik dikejutkan oleh serangan terhadap 12-15 orang mahasiswa Universitas Pamulang yang sedang melangsungkan doa Rosario di Cisauk, Tangerang Selatan. Mereka diserang oleh sejumlah warga yang mengaku merasa terganggu dengan ibadah tersebut. Atas insiden ini, ada dua korban perempuan yang alami luka sayatan senjata tajam.
Merespons kasus tersebut, Komnas Perempuan mengecam keras tindakan intoleransi serta radikalisme itu melalui siaran pers. Tindakan kekerasan ini tidak hanya mempertontonkan rendahnya toleransi terhadap kebebasan beragama dan perbedaan budaya, etnis, maupun ras, tetapi turut menunjukkan bagaimana perempuan menjadi kelompok paling rentan atas tindakan intimidasi hingga kekerasan berbasis gender.
Pada kasus lainnya, Juli 2022, jagat maya sempat digemparkan oleh laporan kasus pemaksaan pemakaian hijab di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banguntapan Bantul, Yogyakarta, yang membuat siswi tersebut depresi. Mirisnya, pelaku dari tindakan ini justru dilakukan oleh guru bimbingan konseling, wali kelas, dan guru agama. Tak hanya itu, bahkan pada beberapa kasus lainnya, pemaksaan pemakaian hijab dialami oleh siswi dengan identitas agama ataupun keyakinan berbeda di berbagai sekolah negeri di Indonesia.
Tak berhenti dalam memaksa dan mengatur cara berpakaian, berbagai sekolah negeri juga masih marak mewajarkan praktik razia menstruasi oleh guru terhadap para siswinya, dengan dalih menguji kejujuran murid. Salah satu kasus terlapor terjadi di salah satu SMA Negeri di Bogor pada September 2022 lalu. Para siswi yang mengaku menstruasi dan tak bisa ikut salat, dikumpulkan oleh guru mereka, lalu bagian rok belakang diraba untuk membuktikan kebenarannya.
Komnas Perempuan menyebut bahwa peristiwa serupa terus berulang dan banyak dialami oleh siswi maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai daerah. Pemaksaan yang menenteng alasan agama tersebut rentan mengakibatkan traumatis berkepanjangan, ketakutan, hilangnya rasa aman, dan perlindungan untuk berbuat sesuatu.
Bukan hal mustahil apabila masih banyak korban yang merasa takut dan tidak aman untuk melaporkan tindak pemaksaan dan larangan itu, sehingga terjadi pembiaran begitu saja. Berulangnya peristiwa serupa menunjukkan masih kuatnya politik identitas yang berkaitan dengan praktik diskriminasi.
Sementara itu, CATAHU Komnas Perempuan 2024 mencatat lonjakan kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) mencapai 330.097 kasus, meningkat 14,17% dari tahun sebelumnya. Kekerasan ini meliputi kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual di tempat kerja, hingga kekerasan berbasis agama dan keyakinan.
Baca Juga: Ruang Aman untuk Penyintas: Komunitas Broken but Unbroken Hadirkan Dialog dan Pemulihan
Data ini diperkuat oleh laporan Setara Institute yang menyebutkan adanya 329 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2023, dengan sebagian besar korban adalah perempuan dan kelompok minoritas. Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta masuk dalam lima besar wilayah dengan tingkat intoleransi tertinggi.
Patriarki Bersemayam dalam Dalil Neraka–Surga Kelompok Radikal
Konstruksi gender dalam masyarakat patriarkal turut berperan besar dalam kejahatan sistemik dan struktural ini. Lewat intoleransi serta radikalisme berbasis dalil-dalil neraka-surga yang amat misoginis, para pelaku merasa perlu menegakkan dominasi mayoritas, mempertahankan kontrol atas tubuh hingga menghukum hidup perempuan yang dianggap menyalahi norma agama maupun sosial.
Akibatnya, nyaris tubuh hingga kehidupan utuh perempuan menjadi objek pengawasan yang ketat. Perempuan yang dianggap tidak sesuai dengan norma mayoritas sering kali menjadi target kekerasan verbal maupun fisik. Kelompok-kelompok radikal yang mengejar agenda konservatif acap kali menjadi dalih untuk memperkenalkan kebijakan yang membatasi hak-hak dasar perempuan sebagai manusia.
Pola kekerasan sistemik ini nyaris selalu sama, ditandai tindakan main hakim sendiri dengan upaya pemaksaan, pelarangan dan atau perundungan hingga tak jarang membuat para korban meregang nyawa.
Perempuan tidak hanya menjadi korban dalam ekstremisme kekerasan, tetapi juga dijadikan alat oleh kelompok radikal untuk memperluas pengaruh. Mereka direkrut melalui manipulasi ideologi, dijadikan istri para "pejuang syahid", atau dipaksa tunduk pada sistem yang merampas hak asasi mereka.
Ironisnya, dalam beberapa kebijakan pemerintah, kita juga menemukan jejak-jejak konservatisme negara. Misalnya, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. UU Pornografi yang selama ini kerap digunakan untuk menjerat perempuan, baik sebagai korban, saksi, tersangka, terdakwa dan terpidana.