Intoleransi dan Radikalisme Gender: Kekerasan Sistemik yang Mengancam Perempuan

Ayu Nabila Suara.Com
Selasa, 27 Mei 2025 | 06:00 WIB
Intoleransi dan Radikalisme Gender: Kekerasan Sistemik yang Mengancam Perempuan
Ilustrasi kekerasan sistemik yang mengancam perempuan (Suara.com/Ema Rohimah)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Komnas Perempuan melaporkan bahwa sejak UU ini disahkan hingga tahun 2021, tidak satupun yang menghukum pelaku industri pornografi atau pemilik situs porno di dunia maya. Milyaran situs porno masih tersedia dan begitu mudah diakses oleh siapa saja hingga saat ini, tak terkecuali usia anak. Bukannya melindungi, regulasi semacam ini justru memperparah stigma terhadap perempuan dan mengukuhkan kontrol terhadap tubuh mereka.

Jejak konservatisme negara lainnya yang tak boleh luput dari ingatan, yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor 17 P/HUM/2021 yang mengatur penggunaan busana di lingkungan pendidikan negeri dan kantor pemerintahan. Putusan ini barang pasti menghambat pencegahan dan penanganan kebijakan-kebijakan di daerah yang memuat diskriminasi, khususnya terkait pemaksaan busana di lingkungan pendidikan. 

Meski Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Ketimpangan Gender (IKG) tahun 2024 turun 0,026 poin dari tahun sebelumnya—tercatat sebesar 0,421, menjadi penurunan tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Namun, angka ini tidak menggambarkan kenyataan di lapangan. Penurunan angka IKG belum sebanding dengan upaya struktural untuk mencerabut borok patriarki dan kekerasan berbasis gender yang sudah mengakar.

Intoleransi dan radikalisme terhadap perempuan bukan sekadar persoalan moral dan agama, tetapi pelanggaran hak asasi manusia, bahkan yang paling dasar sekalipun. Negara gagal memenuhi mandat konstitusionalnya untuk melindungi perempuan dari kekerasan dan diskriminasi hingga ekstremisme. Kita butuh kebijakan yang berpihak, masyarakat yang sadar, dan media yang adil. Terutama, ruang aman bagi perempuan untuk hidup, sekolah, bekerja, dan mengekspresikan diri tanpa takut diintimidasi dan terbunuh.

Darurat Keberpihakan, Negara Harus Berhenti Membuat Jejak Konservatisme Terhadap Perempuan

Negara, dalam hal ini pemerintah, harus menunjukkan keberpihakan penuh pada hak asasi perempuan, bukan justru tunduk pada tekanan kelompok konservatif yang kerap menjual narasi moralitas untuk membatasi ruang gerak perempuan, terutama di institusi pendidikan yang justru mengancam keamanan para muridnya.

Dalam situasi genting ini, saya mengumpulkan berbagai rekomendasi Komnas Perempuan dari tahun 2022 hingga 2024 terkait intoleransi kebebasan beragama dan keyakinan serta pemaksaan pakaian di institusi pendidikan maupun lembaga pemerintahan, yang nyatanya masih begitu relevan hingga hari ini. 

Adapun rekomendasi tersebut, yakni;

Pertama, pemerintah harus segera menghentikan penanganan kasus intoleransi secara sembunyi-sembunyi dan perdamaian semu antara pelaku terhadap korban. Hal tersebut hanya akan menyelesaikan persoalan di permukaan dan menyisakan luka mendalam pada korban, bahkan berpotensi menempatkan korban sebagai korban berkali-kali. 

Kedua, pemerintah perlu membentuk kelompok kerja khusus. Fungsinya untuk penanganan kebijakan diskriminatif untuk menyusun perencanaan sistemik dalam mengupayakan percepatan penanganan dan pencegahan kebijakan diskriminatif di berbagai daerah. 

Baca Juga: Ruang Aman untuk Penyintas: Komunitas Broken but Unbroken Hadirkan Dialog dan Pemulihan

Rekomendasi tersebut berkaitan dengan Putusan MA No.17P/HUM/2021. Menurut Komnas Perempuan, Kantor Staff Presiden, Kemenkopolhukam, dan Kemenko PMK harus melakukan koordinasi dengan melibatkan berbagai lembaga, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan, Riset, Teknologi dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI untuk menyikapi secara sistemik Putusan MA No.17P/HUM/2021 tersebut.

Sangat penting juga untuk melibatkan kelompok perempuan dalam membangun rekonsiliasi berkeberlanjutan, sehingga terbangun nilai toleransi atas keberagaman, serta membangun rasa damai antar kelompok yang beragam. 

Ketiga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu melakukan sosialisasi dan mengawasi larangan diskriminasi dan tindakan kekerasan atas dasar apa pun. Strategi pencegahan dan penanganan bisa melalui perluasan layanan dan informasi pengaduan di lingkungan pendidikan, yang dapat diakses siswa maupun wali murid yang mengalami diskriminasi serta kekerasan di lingkungan pendidikan.

Keempat, pemerintah daerah dan DPRD perlu meninjau ulang secara menyeluruh kebijakan di daerah. Termasuk kebijakan yang dikeluarkan sekolah negeri untuk memastikan langkah koreksi pada praktik diskriminatif. Mengupayakan advokasi bagi pemenuhan HAM, penghormatan pada kebhinekaan, serta memastikan perempuan korban intoleransi dan keluarganya mendapatkan rehabilitasi sosial berkelanjutan.

Kelima, masyarakat harus memanfaatkan mekanisme keluhan yang telah disediakan oleh kementerian/lembaga terkait. Salah satunya yakni hotline yang dikembangkan oleh Kemendikbud untuk keluhan mengenai kebijakan dan praktik diskriminatif di sekolah. Tujuannya untuk mendorong perubahan dan layanan pengaduan yang disediakan lembaga HAM, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI.

Tak hanya itu, Komnas Perempuan perlu mendapatkan dukungan lebih besar—baik dari sisi anggaran maupun wewenang hukum—agar mampu menjalankan mandat perlindungan HAM perempuan secara maksimal. Mereka juga perlu memperkuat sistem rujukan dan layanan untuk korban kekerasan berbasis gender.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI