Cheetah (Acinonyx jubatus), misalnya, hanya membutuhkan air setiap tiga hingga empat hari, menjadikannya relatif tangguh di daerah yang kering.
Gajah Afrika dan Asia juga hidup di berbagai tipe habitat, meskipun tetap sangat bergantung pada ketersediaan air dan makanan.
Kupu-kupu monarch (Danaus plexippus) menunjukkan sisi adaptif lain dari satwa liar. Meski sangat sensitif terhadap perubahan musim, siklus hidup mereka yang cepat memungkinkan regenerasi yang lebih fleksibel dalam menghadapi kondisi lingkungan baru.
Strategi Konservasi Harus Berbasis Iklim
Penilaian WWF ini menegaskan bahwa konservasi tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional. Setiap spesies memiliki karakteristik unik yang membuat mereka bereaksi berbeda terhadap dampak iklim.
Oleh karena itu, strategi konservasi harus dirancang secara spesifik, dengan mempertimbangkan aspek ketahanan dan kerentanan masing-masing spesies.
Langkah konkret yang direkomendasikan mencakup:
- Memprioritaskan spesies dengan tingkat risiko tertinggi
- Menyesuaikan strategi adaptasi berdasarkan kemampuan spesies untuk bertahan
- Mengintegrasikan data perubahan iklim dalam program perlindungan habitat dan populasi
- Mengalokasikan sumber daya konservasi secara lebih efisien
Ancaman Nyata, Tindakan Mendesak
Dari sepuluh spesies yang dinilai, tujuh di antaranya berstatus "Terancam Punah" dalam daftar merah IUCN. Data ini menjadi alarm serius bahwa tanpa intervensi cepat dan terkoordinasi, risiko kepunahan akan semakin besar.
Baca Juga: Apa Beda Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, Sering Salah Kaprah
Perubahan iklim bukan hanya ancaman global yang abstrak—ia menimbulkan dampak langsung terhadap satwa liar. Melindungi mereka berarti juga menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan hidup di bumi. Konservasi kini tak hanya menjadi pilihan, tapi keharusan.