Namun, capaian ini tidak akan terjadi begitu saja. Semua sektor perlu dirancang untuk bekerja bersama, baik langsung maupun tidak langsung. Tujuannya jelas: mencegah konflik sektoral yang bisa menghambat inisiatif utama.
Ekonomi hijau tak cukup sekadar ditulis dalam dokumen strategis seperti RPJPN. Ia harus benar-benar diterjemahkan ke kebijakan operasional konkret. Terutama di tingkat sektoral, subnasional, dan komunitas. Tanpa koordinasi lintas kementerian dan wilayah, semua rencana tinggal rencana.
Karena itu, pembangunan ekonomi hijau butuh kerja bersama. Kebijakan harus saling melengkapi. Bukan tumpang tindih, apalagi saling menegasikan.
Alokasi anggaran juga perlu diarahkan untuk mendukung agenda hijau. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga menyangkut manfaat sosial dan lingkungan.
Transisi menuju ekonomi hijau menuntut kesiapan. Indonesia harus lepas dari ketergantungan terhadap teknologi dan energi beremisi tinggi. Di saat yang sama, harus mulai bergerak menuju teknologi rendah karbon dan sistem berkelanjutan.
Aspek manusia juga tak kalah penting. Transisi ini butuh SDM yang mampu beradaptasi. Maka pelatihan dan peningkatan keterampilan menjadi krusial. Kita perlu menyiapkan talenta yang bisa bekerja dengan teknologi baru.
Dalam proses ini, jaringan pengaman sosial harus disiapkan. Terutama bagi masyarakat yang terdampak transisi. Pemerintah juga perlu mempercepat adopsi teknologi rendah karbon dan memperkuat kapasitas SDM.
Semua kebijakan ini—dari fiskal, sosial, hingga industri—harus saling terhubung. Hanya dengan begitu, transisi menuju ekonomi hijau bisa berlangsung adil dan berkelanjutan.
Baca Juga: Studi: Cuaca Ekstrem Memperparah Krisis Kesehatan Reproduksi Remaja