suara hijau

Harapan dari Tiga Hutan Tropis Dunia: Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal Bersatu di Brazzaville

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Jum'at, 30 Mei 2025 | 11:11 WIB
Harapan dari Tiga Hutan Tropis Dunia: Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal Bersatu di Brazzaville
Masyarakat adat. (Dok. Istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perwakilan masyarakat adat dan komunitas lokal dari tiga kawasan hutan tropis terbesar di dunia berkumpul di Brazzaville, Republik Kongo. Pertemuan ini bukan sekadar forum biasa. Ini adalah tonggak sejarah bagi solidaritas lintas benua dalam menjaga paru-paru bumi.

Diselenggarakan pada 26–30 Mei 2025, Kongres Global Pertama Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dari Daerah Aliran Sungai Hutan (Three Basins Summit) mempertemukan lebih dari 100 perwakilan dari Amazon, Kongo, Borneo-Mekong-Asia Tenggara, dan Mesoamerika. Termasuk di antaranya, 22 delegasi dari Indonesia.

Kongres ini diinisiasi oleh Global Alliance of Territorial Communities (GATC) bersama Rights and Resources Initiative (RRI). Sebuah upaya memperkuat suara para penjaga hutan di tengah krisis iklim dan ketidakadilan global.

“Kongres global ini adalah tonggak sejarah bagi persatuan masyarakat di kawasan hutan tropis. Kami hadir sebagai koalisi hidup, membawa kearifan leluhur dan desakan untuk membela hak-hak alam dan masyarakat kami. COP30 hanya satu titik dalam perjalanan panjang perjuangan ini,” ujar, Sekretaris Eksekutif GATC, Juan Carlos Jintiach dalam keterangannya. 

Masyarakat adat. (Dok. Istimewa)
Masyarakat adat. (Dok. Istimewa)

Refleksi juga datang dari Indonesia. Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengingatkan pentingnya mengurangi beban administratif yang menghambat kerja komunitas.

“Jika itu terjadi, maka kita justru sedang melemahkan para penjaga bumi itu sendiri,” ungkap Rukka.

Kongres ini dibuka secara resmi oleh Menteri Ekonomi Kehutanan Republik Kongo, Rosalie Matondo. Ia memberi sorotan pada peran penting perempuan adat dalam pembangunan berkelanjutan.

“Saya sangat menghargai kepemimpinan perempuan adat dan komunitas lokal yang merawat komunitas, wilayah, dan keluarga kita demi keberlanjutan bumi lintas generasi,” kata Menteri Matondo.

Salah satu sesi pembuka memperlihatkan kekuatan kolektif perempuan adat. Workshop interaktif digelar, menyoroti pentingnya akses langsung terhadap pendanaan iklim yang adil dan tidak birokratis.

Baca Juga: Menyusuri Sri Lanka, Saat Konservasi Satwa dan Ekowisata Tropis Berjalan Beriringan

Mengapa pertemuan ini krusial?

Bukti menunjukkan bahwa wilayah adat memiliki tingkat deforestasi jauh lebih rendah dibandingkan wilayah yang tidak dikelola oleh masyarakat lokal. Namun, perlindungan hukum dan dukungan dana untuk komunitas ini masih sangat terbatas. Di sinilah Kongres hadir: sebagai ruang menyusun strategi bersama yang dipimpin oleh akar rumput.

“Ini bukan semata soal pendanaan atau keadilan iklim. Sudah saatnya proses-proses kebijakan dibuat lebih manusiawi,” ujar Joseph Itongwa dari REPALEAC. “Kini dunia harus mendengar, dan komunitas dari seluruh kawasan hutan harus terus memimpin dengan harapan dan tekad untuk masa depan.”

Langkah konkret juga ditunjukkan. CLARIFI, mekanisme pendanaan yang didukung RRI, mengumumkan dukungan senilai US$270.000 untuk delapan inisiatif perempuan adat di Afrika. Dana ini akan mendukung regenerasi tanah, pengembangan ekonomi lokal, dan penguatan advokasi hak wilayah.

“Dana ini akan mendukung pelatihan dan penguatan teknis perempuan adat dalam regenerasi tanah, pengembangan ekonomi lokal, restorasi keanekaragaman hayati, dan advokasi hak wilayah,” ungkap Deborah Sanchez dari Honduras.

Kongres ini bukan akhir, melainkan awalan. Lima hari ke depan akan diisi sesi tematik tentang hak, penghidupan, hingga perlindungan hutan. Di akhir, para peserta akan menyepakati Deklarasi Kongres dan Rencana Aksi bersama.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI