Suara.com - Wilayah Raja Ampat di Papua disebut bukan jadi korban tunggal dari risiko kerusakan lingkungan akibat rencana penambangan nikel.
Juru kampanye Trend Asia, Arko Tarigan, menuturkan berdasarkan riset yang pertama kali dilakukan oleh Jatam, setidaknya ada 35 pulau kecil lain di berbagai daerah Indonesia yang sudah masuk dalam skema eksplorasi atau bahkan eksploitasi untuk tambang nikel.
"Raja Ampat bukan hanya korban tunggal, tapi banyak korban-korban lain gitu. Indonesia sendiri itu punya sekitar 17 ribu pulau kecil," ungkap Arko dikutip dari tayangan Live Instagram bersama Koreksi.org, Senin (9/6/2025).
"Data yang saya riset beberapa waktu yang lalu itu, ada 35 pulau kecil yang sebenarnya sedang terancam dan sudah dieksploitasi sebenarnya," katanya menambahkan.
Menurutnya, eksploitasi itu sebagian besar dilakukan atas nama energi bersih, dengan jargon transisi energi yang digaungkan dalam kampanye-kampanye besar.
Padahal, realitas di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil sangat merusak dan mengancam ekosistem secara permanen.
Dari 35 pulau kecil yang jadi sasaran itu, beberapa di antaranya disebut telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah.
"Sudah keluar IUP-nya, sudah ada izin eksplorasi, itu tersebar di berbagai daerah, mulai dari Sulawesi, mulai dari Maluku, sampai ke Papua. Ini intinya tentang nikel," ungkapnya.
Arko menyebutkan kalau kegiatan pertambangan itu sebenarnya secara hukum seharusnya dilarang. Hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) secara tegas melarang adanya aktivitas ekstraktif di pulau-pulau kecil.
Baca Juga: Melanie Subono: Ribuan Kasus Raja Ampat Belum Terungkap, Indonesia Darurat Perampasan
"Melarang tentang bagaimana sebenarnya pulau kecil ini tidak boleh ada aktivitas apapun. Aktivitas yang sebagai satunya itu, abnormally dangerous activity. Itu aktivitas di luar dari yang dilakukan oleh manusia," terangnya.
Ia menilai, framing transisi energi yang seolah ramah lingkungan justru dimanfaatkan untuk melegitimasi aktivitas tambang yang eksploitatif.
"Jangan disamakan dengan di pulau kecil ada perkebunan jambu mete dan lain sebagainya, itu tidak ekstraktif. Tapi tambang ini lebih ekstraktif daripada yang kita lihat yang dengan jargon-jargon transisi energi dan lain sebagainya," pungkasnya.
Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa hingga saat ini sudah ada lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat.
Dua perusahaan yang memperoleh izin dari pemerintah, yaitu PT Gag Nikel dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2017 dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2013.
![Kerusakan alam di Pulau Gag, Raja Ampat Papua Barat akibat aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut. [akun IG Greenpeace Indonesia]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/09/56875-kerusakan-alam-di-pulau-gag-raja-ampat-papua-barat.jpg)
Sementara, tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari Pemerintah Daerah (Bupati Raja Ampat), yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada tahun 2025.