Mengapa transisi energi penting?
Jalan menuju transisi energi memang tidak selalu mulus. Ahmad Rahma Wardhana, peneliti dan mahasiswa doktoral di Universitas Gadjah Mada, mengutip laporan IPCC yang menyebut 34 persen emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari sektor energi. Demikain tulisnya seperti dikutip dari The Conversation.
Transportasi menyumbang 15 persen. Gabungan keduanya mencapai hampir setengah total GRK global. Artinya, upaya mengurangi emisi dari dua sektor ini sangat krusial.
Namun, sebagaimana dikatakan Ahmad, “transisi energi bukanlah silver bullet (obat mujarab lengkap) yang mampu menyelesaikan persoalan pendidihan global dan perubahan iklim secara serta-merta.”
Bahkan, dengan melakukan transisi pun, perubahan iklim tidak langsung tertanggulangi. Apalagi jika tidak dilakukan sama sekali.
Di sinilah kompleksitas muncul. Mengubah sistem bahan bakar transportasi dari fosil ke bioenergi, misalnya, menimbulkan tantangan baru: ketergantungan pada sawit dan risiko kerusakan hutan. Menggunakan jagung dan singkong untuk biofuel juga bisa memicu konflik fungsi lahan antara pangan dan energi.
Teknologi kendaraan listrik pun tidak sepenuhnya bersih jika sumber listrik masih berasal dari PLTU batu bara, yang menyuplai lebih dari 54 persen listrik Indonesia.
Solusi seperti co-firing—menggantikan sebagian batu bara dengan biomassa—juga tidak bebas masalah. Risiko deforestasi dan konflik lahan tetap menghantui.
Pembangkit listrik tenaga air berskala besar dapat merusak ekosistem. Angin dan surya menghadapi masalah intermitensi, alias pasokan yang tidak stabil. Matahari hanya bersinar efektif 4-5 jam sehari. Industri panel surya juga masih sangat bergantung pada impor, yang berarti tantangan baru dalam kemandirian teknologi.
Baca Juga: Nelayan dan Petani Cilacap Manfaatkan Energi Ramah Lingkungan
"Tantangan-tantangan tersebut seharusnya mendorong kita semua (terutama pelaku industri bahan bakar fosil!) untuk mulai peduli pada urusan transisi energi," kata Ahmad.
"Kita harus mencari solusi terbaik yang seimbang antara perspektif teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Itu memang tidak mudah, tapi mungkin."