Suara.com - Empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat resmi dicabut. Keputusan itu diumumkan Selasa, 10 Juni 2025, oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
Keempat perusahaan yang dicabut izinnya antara lain adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Sementara itu, PT GAG masih diperbolehkan beroperasi.
Langkah ini merupakan respons atas penolakan keras masyarakat. Warga setempat khawatir, aktivitas pertambangan akan terus menggerus bentang alam dan sumber kehidupan Raja Ampat—surga bahari yang tak tergantikan.
Gelombang protes datang dari berbagai arah. Masyarakat adat, warga pesisir, hingga organisasi masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran yang sama pertambangan tak bisa dibiarkan merusak tanah leluhur dan kawasan konservasi.

Keputusan pencabutan izin ini menjadi sinyal positif. Namun, belum menjawab keseluruhan persoalan. Sebab, masih ada satu perusahaan yang tetap beroperasi, meskipun wilayahnya masuk dalam pulau kecil yang seharusnya dilindungi secara hukum.
“Banyak pulau-pulau kecil yang dilumat akibat penegakan hukum yang lemah. Apakah semua izin tambang di pulau kecil harus viral dulu? Ketegasan pemerintah ini harusnya tidak sekadar aksi kosmetik. Apalagi, izin PT GAG juga masih dibiarkan berlanjut di pulau kecil yang perlindungannya dijamin oleh hukum Indonesia,” kata Juru Kampanye Mineral Kritis dari Trend Asia, Arko Tarigan dalam keterangannya, baru-baru ini.
Sinyal kekhawatiran juga datang dari berbagai pengamat lingkungan. Mereka menilai, pencabutan ini belum tentu permanen. Sejarah telah menunjukkan bahwa izin tambang bisa saja diaktifkan kembali setelah situasi mereda, atau bahkan tetap berjalan secara ilegal.
Contohnya terjadi di Pulau Wawonii. Warga sempat menang, tetapi izin tambang kembali menyelinap masuk. Tanpa regulasi yang kuat dan komitmen politik yang jelas, Raja Ampat bisa saja mengalami nasib serupa.
Trend Asia menilai bahwa perhatian pemerintah baru muncul setelah isu ini viral di media sosial. Padahal, masalah eksploitasi pulau kecil tidak hanya terjadi di Raja Ampat. Menurut data JATAM, setidaknya ada 35 pulau kecil di Indonesia yang telah dieksploitasi oleh 195 izin tambang. Ini adalah gambaran yang mencemaskan.
Baca Juga: Pantai Teluk Asmara: Miniatur Raja Ampat yang Sama-Sama Tersakiti
Pulau kecil rentan. Daya dukung dan pulihnya terbatas. Karena itu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU W3PK) dengan tegas melindunginya. Namun, berbagai celah hukum masih dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menambang secara legal di kawasan tersebut.
“Pulau kecil seharusnya mutlak tidak boleh ditambang, apalagi atas nama investasi yang menyengsarakan masyarakat lokal. Presiden Prabowo harus hadir memberikan kepastian atas keberlangsungan semua ekosistem di pulau-pulau kecil,” tegas Arko.
Langkah pemerintah mencabut izin tambang di Raja Ampat memang patut diapresiasi. Tapi itu baru permulaan. Keadilan ekologis menuntut kebijakan yang menyeluruh dan konsisten, tidak bergantung pada tekanan viral semata.
Trend Asia mendesak agar Presiden Prabowo segera mengeluarkan langkah-langkah perlindungan yang lebih kuat dan menyeluruh. Tidak hanya soal mencabut izin, tapi juga memperkuat regulasi, menutup celah hukum, dan memastikan seluruh instrumen perizinan—termasuk Perda RTRW dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)—tidak digunakan untuk melegalkan perusakan.
“Semua izin tambang seharusnya dihapus dari pulau-pulau kecil di Indonesia, bukan hanya Raja Ampat. Begitu juga dengan Perda RT/RW, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan segala instrumen perizinan lain. Regulasi UU WP3K juga harus diperkuat untuk mencegah kembalinya izin tambang,” tutup Arko.
Langkah hari ini bisa jadi titik balik. Tapi masa depan pulau-pulau kecil Indonesia masih bertumpu pada keberanian politik untuk memilih: investasi jangka pendek atau keberlanjutan jangka panjang.