Suara.com - Di tengah kobaran api konflik antara Teheran dan Tel Aviv, sebuah manuver tak terduga dari Kerajaan Yordania menjadi sorotan dunia. Ketika Iran mencoba membalas Israel dengan mengirimkan gelombang pesawat nirawak (drone), sebuah perisai pertahanan udara aktif di lokasi yang paling tidak disangka-sangka: langit Yordania.
Atas perintah langsung dari Raja Abdullah II, angkatan udara Yordania, bekerja sama dengan militer Israel, menembak jatuh puluhan drone tersebut sebelum sempat mencapai target dan menyebabkan kerusakan.
Sejatinya, langkah Yordania ini bukan anomali. Negara ini secara efektif telah menjadi sekutu pertahanan yang krusial bagi Israel dalam menghadapi ancaman udara.
Pada tahun lalu juga, tentara Yordania telah menghentikan beberapa rudal dan pesawat nirawak yang menuju Israel. Tindakan tegas ini menempatkan Yordania, negara berpenduduk mayoritas Muslim, dalam posisi geopolitik yang unik dan kompleks.
Stasiun televisi Israel melaporkan bahwa beberapa pesawat nirawak Iran dihancurkan di atas wilayah Suriah. Sementara itu, kantor berita resmi Yordania, Petra, mengonfirmasi bahwa militernya menembak jatuh beberapa pesawat nirawak dan rudal Iran yang memasuki wilayah udaranya.
Pemerintah Yordania telah dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan wilayah udaranya menjadi medan pertempuran, dan memperingatkan bahwa pelanggaran apa pun di wilayah udaranya tidak akan ditoleransi.
Posisi geografis Yordania adalah kunci. Terletak di antara pemain utama konflik—Israel dan Tepi Barat di satu sisi, serta Irak dan Iran di sisi lain—wilayah udaranya menjadi koridor strategis untuk setiap serangan. Peranannya dalam menjaga stabilitas, atau setidaknya memitigasi eskalasi, menjadi sangat penting.
Ironi tajam dari situasi ini terletak pada sosok pemimpinnya. Raja Abdullah II, yang oleh banyak kalangan Muslim diyakini sebagai keturunan langsung generasi ke-43 Nabi Muhammad.
Ia kini memimpin negara Arab yang secara aktif melindungi keamanan negara Yahudi, Israel. Hubungan ini berakar pada perjanjian damai yang ditandatangani pada tahun 1994, yang menjadikan Yordania negara Arab kedua yang menormalisasi hubungan dengan Israel.
Baca Juga: Hidup di Pengasingan, Ini Sosok Putra Mahkota Iran yang Serukan Perlawanan Gulingkan Rezim Khamenei
Sejak saat itu, kedua negara menjaga hubungan keamanan dan intelijen yang erat, diperkuat oleh status Yordania sebagai sekutu utama Amerika Serikat di kawasan tersebut.
Untuk memahami keputusan berisiko tinggi ini, penting untuk melihat lebih dalam profil Raja Abdullah II. Berikut ulasannya:
1. Pemimpin Muslim yang Terbuka Mendukung Israel
Melansir India.com, Raja Yordania Abdullah II termasuk di antara sedikit penguasa Muslim yang secara terbuka mendukung Israel. Selama serangan rudal tahun lalu oleh Iran, Yordania adalah satu-satunya negara Muslim yang secara terbuka mengakui membantu Israel.
Pada bulan Oktober, ketika Iran menembakkan sekitar 180 rudal ke Israel, Yordania menembak jatuh puluhan rudal saat masih berada di wilayah udaranya. Meskipun menghadapi kritik dari negara lain dan di Yordania, pemerintah tetap pada keputusannya dan terus mendukung Israel.
2. Keturunan Nabi Muhammad ke-43
Raja Abdullah II telah memerintah Yordania sejak 1999, setelah kematian ayahnya, Raja Hussein. Selama lebih dari 25 tahun, ia telah menjadi kepala negara.
Ia berasal dari keluarga kerajaan Hashemite dan diyakini oleh banyak Muslim sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, dari generasi ke-43. Hubungan ini memberinya status khusus di antara banyak orang di dunia Muslim.
3. Gaya Pemikiran Modern
Raja Abdullah II dari Yordania dikenal karena gaya hidupnya yang modern. Ia belajar di Inggris dan AS, dan pada tahun 1980, ia lulus dari Royal Military Academy Sandhurst di Inggris.
Ia telah bertugas di angkatan darat Inggris dan Yordania. Pada tahun 1993, ia menjadi wakil komandan pasukan khusus Yordania, dan pada tahun 1994, ia memimpin mereka.
Ia dipandang sebagai seseorang yang telah membantu menggerakkan Yordania menuju pemikiran dan pembangunan modern. Istrinya dan putrinya tidak pernah terlihat mengenakan burka, dan ia sendiri menjalani gaya hidup modern.
4. Bersekutu dengan AS dan Menjadi Jalur Logistik?
Hubungan erat dengan Barat menimbulkan spekulasi lebih lanjut. Sejumlah sumber mengungkapkan bahwa The Cradle pada 13 Juni lalu menyebut otoritas Yordania tiba-tiba menutup salah satu bandara utama negara itu dan membatasi lalu lintas sipil untuk menggunakan fasilitas tersebut guna mendukung logistik serangan Israel baru-baru ini terhadap Iran.
Menurut sumber-sumber tersebut, pesawat kargo militer telah tiba dari AS dan Eropa melalui wilayah udara Yordania, yang diyakini membawa senjata dan peralatan yang ditujukan untuk Israel. Otoritas Yordania belum memberikan penjelasan resmi mengenai penutupan bandara tersebut.
Langkah tersebut—yang digambarkan sebagai "tindakan pencegahan"—muncul di tengah spekulasi bahwa anggota Poros Perlawanan yang didukung Iran di wilayah Yordania dapat menargetkan pengiriman senjata tersebut.
Kolaborasi pertahanan ini kembali ditegaskan saat angkatan udara Yordania mencegat rudal dan pesawat nirawak Iran pada hari Jumat, dengan alasan potensi jatuhnya serpihan di wilayah Yordania yang dapat membahayakan warga sipil.
"Partisipasi Yordania dalam pertahanan Israel menunjukkan bahwa meskipun Amman perlu menavigasi konflik Israel-Palestina dengan sensitif, hal itu secara luas dan erat terkait dengan kepentingan keamanan regional AS dan Israel," kata Jonathan Lord dari Center for a New American Security, setelah serangan Iran pada tahun 2024 lalu.