Di Balik Perang Iran-Israel: Retaknya Solidaritas Islam Akibat Api Sektarianisme Syiah-Sunni

Bangun Santoso Suara.Com
Minggu, 22 Juni 2025 | 13:18 WIB
Di Balik Perang Iran-Israel: Retaknya Solidaritas Islam Akibat Api Sektarianisme Syiah-Sunni
Ilustrasi perang Iran-Israel: Sebuah gedung di Israel meletup usai mendapat hantaman rudah dari militer Iran. [Suara.com]

Suara.com - Eskalasi militer yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Iran dan Israel tidak hanya mengancam stabilitas geopolitik global, tetapi juga secara tajam menyoroti dan memperburuk garis patahan sektarian yang telah lama membelah dunia Islam: perpecahan antara Syiah dan Sunni.

Konflik ini, pada dasarnya antara negara Yahudi dan republik Islam Syiah, secara paradoksal telah menciptakan aliansi diam-diam antara Israel dan beberapa negara Arab Sunni yang kuat, memicu pertanyaan mendalam tentang masa depan solidaritas Muslim.

Meskipun Teheran membingkai perjuangannya melawan Israel sebagai pembelaan atas nama seluruh umat Islam, terutama untuk pembebasan Palestina, kenyataannya jauh lebih kompleks.

Bagi banyak negara Teluk yang dipimpin oleh dinasti Sunni, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), ancaman yang dirasakan dari hegemoni regional Iran jauh lebih mendesak dan nyata daripada konflik Palestina-Israel.

Ketakutan ini bukan tanpa dasar, mengingat dukungan Iran terhadap proksi-proksi Syiah di seluruh kawasan, mulai dari Hezbollah di Lebanon, Houthi di Yaman, hingga milisi di Suriah dan Irak.

Seorang pakar Timur Tengah terkemuka, Dr. F. Gregory Gause, III, dari Texas A&M University, mengartikulasikan sentimen ini dengan jelas.
"Bagi banyak negara Teluk Sunni, ancaman utama terhadap stabilitas regional bukanlah Israel, melainkan ambisi hegemoni Iran dan jaringan proksi Syiah-nya yang merusak," ujarnya dikutip dari analisisnya di Al Jazeera pada 20 April 2024.

Kalkulus strategis inilah yang mendorong lahirnya Abraham Accords pada tahun 2020, di mana UEA dan Bahrain menormalisasi hubungan dengan Israel—sebuah langkah yang tak terpikirkan satu dekade lalu dan secara implisit menargetkan Iran sebagai musuh bersama.

Retakan di antara Umat

Iran, di sisi lain, secara strategis menggunakan isu Palestina untuk mencoba melampaui perpecahan sektarian. Dengan memposisikan diri sebagai pemimpin "Poros Perlawanan" (Axis of Resistance) terhadap hegemoni Amerika Serikat dan Israel, Iran berharap dapat memenangkan hati dan pikiran publik Arab di jalanan, yang seringkali memiliki sentimen pro-Palestina yang kuat.

Baca Juga: Amerika Serikat Gempur Situs Nuklir Iran, Bumi di Ambang Perang Dunia Ketiga?

Trita Parsi, seorang analis kebijakan luar negeri terkemuka, menyatakan, "Iran secara strategis menggunakan isu Palestina untuk menampilkan dirinya sebagai pemimpin 'Poros Perlawanan' dan mencoba melampaui perpecahan sektarian untuk mendapatkan legitimasi di mata publik Arab," dalam analisisnya untuk majalah Foreign Affairs, 15 Mei 2024.

Namun, strategi ini menciptakan dilema akut bagi para pemimpin Arab Sunni. Di satu sisi, mereka menghadapi tekanan dari rakyat mereka sendiri yang menuntut sikap lebih keras terhadap Israel.

Di sisi lain, mereka secara diam-diam mungkin mendapat manfaat dari tindakan militer Israel yang melemahkan kemampuan militer dan nuklir Iran.

Laporan dari Carnegie Endowment for International Peace pada Juni 2024 menyoroti dinamika ini, "Ada jurang pemisah yang lebar antara sentimen publik di banyak negara Arab yang pro-Palestina, dengan kalkulus geopolitik para pemimpin mereka yang melihat Teheran sebagai ancaman yang lebih mendesak daripada Tel Aviv."

Dampak pada Solidaritas Global

Dampak dari perpecahan ini sangat terasa di panggung internasional. Organisasi Kerjasama Islam (OKI), badan yang seharusnya mewakili 57 negara Muslim, seringkali lumpuh dan tidak mampu menghasilkan respons yang kohesif terhadap krisis di Timur Tengah.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI