BASARNAS Dituding Lelet, Kenapa Evakuasi Juliana Marins Tak Bisa Gunakan Helikopter?

Yazir F Suara.Com
Rabu, 25 Juni 2025 | 16:59 WIB
BASARNAS Dituding Lelet, Kenapa Evakuasi Juliana Marins Tak Bisa Gunakan Helikopter?
Kenapa Evakuasi Juliana Marins Tak Bisa Gunakan Helikopter?

Suara.com - Insiden tragis yang menimpa Juliana Marins, seorang turis asal Brasil, di Gunung Rinjani telah memicu perdebatan sengit di dunia maya.

Tudingan lambatnya proses evakuasi yang dilakukan Tim SAR Gabungan,terutama BASARNAS, menggema kencang dari warganet Brasil.

Peristiwa nahas ini terjadi saat Juliana dilaporkan terjatuh ke dalam jurang ketika mendaki Gunung Rinjani.

Dia diperkirakan tergelincir di jalur pendakian sekitar Cemara Nunggal yang mengarah ke Danau Segara Anak.

Beberapa laporan menyebutkan kedalaman jurang tempat dia terjatuh mencapai 600 meter, sebuah kondisi yang membuat operasi penyelamatan menjadi luar biasa sulit.

Tim SAR gabungan yang terdiri dari berbagai unsur segera bergerak. Namun, mereka dihadapkan pada tantangan berat.

Medan yang curam dan berbahaya, cuaca buruk yang tak menentu, serta kabut tebal yang drastis mengurangi jarak pandang.

Helikopter sempat dikerahkan, tetapi gagal beroperasi secara optimal karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan.

Kondisi inilah yang memicu frustrasi, terutama dari publik Brasil. Banyak dari mereka yang meluapkan kekecewaan dan kemarahan dengan menyerbu akun Presiden RI, Prabowo Subianto.

Baca Juga: Tragedi Rinjani: Di Balik Evakuasi Mustahil, Mengapa Netizen Brasil Ramai 'Mengadu' ke Prabowo?

Mereka menuntut pertanggungjawaban dan menuding tim penyelamat Indonesia bekerja lambat.

Benarkah proses evakuasi bisa semudah yang dibayangkan? Pakar penerbangan Gerry Soejatman memberikan penjelasan teknis melalui akun X miliknya.

Dia memberikan perspektif teknis yang jarang diketahui publik awam mengenai batasan dalam operasi penyelamatan menggunakan helikopter (helicopter rescue).

"Tidak semua helicopter rescue itu se-ideal di film-film," tulis Gerry memulai penjelasannya.

Menurut Gerry, ada beberapa faktor krusial yang membuat evakuasi Juliana dari titik jatuhnya menggunakan helikopter menjadi misi yang mustahil, bahkan jika cuaca cerah sekalipun.

Korban WN Brasil yang jatuh di Gunung Rinjani [Instagram]
Korban WN Brasil yang jatuh di Gunung Rinjani [Instagram]

Lokasi kejadian berada di ketinggian sekitar 10.000 kaki (sekitar 3.048 meter) di atas permukaan laut, dengan posisi korban berada di lereng pada ketinggian sekitar 9.400 kaki (sekitar 2.865 meter).

Ketinggian ini menjadi faktor pembatas utama bagi performa helikopter.

Gerry menjelaskan bahwa untuk mengangkat korban menggunakan tali (hoisting), helikopter harus berada dalam posisi diam di udara (hover).

Ada dua jenis hover, yakni Hover In Ground Effect (IGE) dan Hover Out of Ground Effect (OGE).

Hover IGE terjadi ketika helikopter terbang rendah (sekitar 10-15 meter) di atas permukaan datar, di mana ia mendapat "bantalan" dari tekanan udara yang dipantulkan tanah. Ini tidak mungkin dilakukan di lereng gunung.

Oleh karena itu, helikopter harus melakukan Hover OGE, atau melayang tanpa bantuan pantulan dari daratan. Di sinilah masalah utamanya.

"Untuk helicopter AW139 (milik BASARNAS), ketinggian maksimum untuk hover OGE adalah 8.130 kaki diatas permukaan laut. Untuk AS365, hover OGE maksimum bisa dilakukan di 3.740 kaki," jelas Gerry.

Dengan korban berada di 9.400 kaki, kedua tipe helikopter andalan BASARNAS tersebut secara teknis tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hover dan hoisting di ketinggian tersebut.

"Jadi disini bisa kelihatan, heli BASARNAS tidak akan bisa melakukan hoisting rescue korban, mau cuacanya bagus sekalipun," tegasnya.

Sebagai perbandingan, helikopter militer sekelas Blackhawk pun memiliki batas Hover OGE maksimal di 6.200 kaki.

Penjelasan Gerry memicu diskusi lebih lanjut. Seorang warganet berkomentar bahwa peralatan evakuasi Indonesia belum memadai.

"Mungkin dengan medan yang ada petugas kelabakan, ditambah alat-alat yang terbatas. Biar ini jadi pelajaran untuk nama Indonesia di kancah internasional," komentarnya.

Gerry menimpali bahwa faktor cuaca di pegunungan Indonesia sangat tidak bisa diprediksi.

"Apalagi di ketinggian segitu. Plus, buat ketinggian segitu, buat search and rescue, heli mana yang bisa? Yang bisa mending taruh di Papua. Lebih dibutuhkan di sana," balasnya, menyinggung soal prioritas alokasi aset.

Di sisi lain, perdebatan juga menyentuh soal tanggung jawab pengelola wisata yang dianggap tidak kompeten sehingga insiden tragis ini bisa terjadi.

Kontributor : Chusnul Chotimah

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

REKOMENDASI

TERKINI