Tarif Trump 32 Persen Ancam PHK Massal, Ekonom : Pemerintah Gagal Negosiasi, Rakyat Menanggung

Rabu, 09 Juli 2025 | 08:31 WIB
Tarif Trump 32 Persen Ancam PHK Massal, Ekonom : Pemerintah Gagal Negosiasi, Rakyat Menanggung
Ilustrasi PHK massal. (Pixabay/geralt)

Suara.com - Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk tetap mengenakan tarif impor 32 persen bagi Indonesia. Kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Agustus 2025.

Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, keputusan Trump tetap mengenakan tarif impor tinggi bagi Indonesia sebagai pukulan berat, sekaligus bukti kegagalan pemerintah melakukan negosiasi.

"Keputusan Trump ini menimbulkan kerugian strategis jangka panjang bagi ekonomi Indonesia," kata Nur kepada Suara.com, Selasa (8/7/2025).

Tingginya tarif impor yang dikenakan AS terhadap Indonesia, kata Nur, menjadi pukulan berat, terutama bagi industri tekstil dan alas kaki dalam negeri yang menyerap lebih dari 3,6 juta tenaga kerja.

Ia memprediksi dengan tarif impor AS hingga 32 persen terhadap produk Indonesia, berpotensi mendorong buyer global memindahkan kontrak produksinya ke negara-negara pesaing seperti Vietnam yang mendapat tarif impor lebih rendah.

"Ini berarti ancaman pemutusan hubungan kerja massal yang akan meningkatkan pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat," ungkapnya.

Nur juga menilai bahwa kegagalan Indonesia bernegosiasi dengan AS semata-mata bukan karena kebijakan keras Trump.

Tetapi karena lemahnya strategi dan kepemimpinan ekonomi pemerintah Indonesia dalam merespons tantangan global.

Terlebih sejak periode pertama pemerintahannya, Trump, kata Nur, sebenarnya telah menggunakan tarif sebagai senjata politik dan ekonomi.

Baca Juga: Risiko PHK Mengancam Akibat Perang Tarif Trump ke Indonesia

Seharusnya pemerintah Indonesia dapat membaca itu dan menyiapkan strategi matang untuk menghadapinya.

"Tapi Indonesia justru tidak menyiapkan proposal win-win. Pemerintah kita seolah berharap Trump berubah pikiran tanpa upaya negosiasi yang substantif dan strategis," ujarnya.

Karena itu, Nur menganggap bahwa kegagalan Indonesia bernegosiasi dengan AS tidak terlepas akibat lemahnya kepemimpinan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam mengelola diplomasi ekonomi.

Menurutnya, pemerintah membutuhkan pemimpin ekonomi yang tidak hanya pintar di atas kertas, tetapi juga tangguh di meja perundingan global untuk membela kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyatnya.

“Rakyat tidak boleh lagi menjadi korban dari kegagalan negosiasi yang mengancam jutaan lapangan kerja,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum (WKU) Kadin Perindustrian Saleh Husin mengatakan beberapa industri di Indonesia terancam dilanda PHK akibat perang tarif yang dilancarkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Trump pada pekan ini mengenakan tarif impor 32 persen ke Indonesia.

Donald Trump kasih peringatan ke warga yang tinggal di Teheran (Instagram)
Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. (Instagram)

Saleh mengatakan bahwa tarif impor ini bisa memukul industri-industri yang selama ini mengekspor produk mereka ke Amerika Serikat.

Saleh menerangkan, ada beberapa sektor industri yang terdampak kebijakan Trump ini, antara lain tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, alas kaki dan perikanan.

Industri-industri ini adalah yang selama ini menjadikan AS menjadi tujuan ekspor utama.

Saleh menjabarkan AS adalah salah satu tujuan utama ekspor Indonesia.

Data BPS menunjukkan bahwa di 2024 nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai 28,18 miliar dolar AS, tumbuh sebesar 9,27 persen jika dibandingkan dengan ekspor di 2023. Kontribusinya pun cukup signifikan, yaitu mencapai 9,65 persen dari total ekspor Indonesia ke dunia.

Sebagai solusi, ia menyarankan Pemerintah Presiden Prabowo Subianto mengedepankan diplomasi dengan lebih gencar lagi.

Pemerintah juga perlu memberikan insentif atau bantuan kepada industri dalam negeri yang terdampak untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul.

Selain itu perlu menyusun strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS dengan melakukan diversifikasi pasar ekspor.

Pemerintah perlu mulai melakukan penjajakan dengan pasar-pasar nontradisional, seperti negara-negara di kawasan Afrika, Eropa Timur, Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Asia Selatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI