Suara.com - Sebuah video pengakuan pilu dari seorang remaja perempuan berinisial KAPA yang mengaku ditolak masuk SMP negeri di Kota Bekasi, Jawa Barat, viral dan menyulut emosi publik.
Dalam video yang beredar luas, KAPA, dengan seragam SD, menuturkan mimpinya kandas karena status pekerjaan orang tuanya.
Namun, klarifikasi dari pihak pemerintah mengungkap fakta yang sama sekali berbeda di balik narasi yang menyentuh hati tersebut.
Kisah KAPA pertama kali mencuat melalui sebuah video emosional. Di dalamnya, ia memaparkan kekecewaan dan kesedihannya.
“Saya pelajar di Bantargebang, Kota Bekasi. Baru saja saya lulus sekolah dasar dan saya bermimpi bisa melanjutkan SMP di Bantargebang, nilai saya juga bagus kok,” ujar KAPA dalam video tersebut.
Mimpinya untuk mengenyam pendidikan di sekolah negeri impiannya harus terkubur.
KAPA mengaitkan kegagalannya dengan latar belakang keluarganya.
Ia menduga pekerjaan orang tuanya sebagai pemulung di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang menjadi penyebab utama penolakan tersebut.
Dengan nada pasrah, ia bahkan meminta maaf kepada kedua orang tuanya karena tidak berhasil masuk sekolah negeri.
Baca Juga: Hadiri Rakor Pencegahan Korupsi Bareng KPK dan Kepala Daerah Lain, Dedi Mulyadi Datang Terlambat
KAPA juga menyatakan kerelaannya untuk tidak melanjutkan pendidikan, jika harus membebani orang tua dengan biaya sekolah swasta yang mahal.
“Sekiranya sekolah di swasta mahal saya enggak apa-apa enggak usah lanjutin sekolah. Pak, Bu, jangan ragukan cita-cita saya karena itu akan selalu hidup,” ucap KAPA.
Wali Kota Bekasi Buka Suara
Narasi yang terbangun dengan cepat menarik simpati dan memicu desakan agar pemerintah turun tangan.
Menanggapi kegaduhan tersebut, Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, akhirnya angkat bicara dan meluruskan duduk perkaranya.
Tri Adhianto membeberkan fakta krusial yang selama ini luput dari perhatian publik.
Ia menyatakan bahwa KAPA sebenarnya adalah warga Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, bukan warga Kota Bekasi.
Ini adalah perbedaan wilayah administrasi yang fundamental dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Menurut Tri, KAPA memang mendaftar ke salah satu SMP Negeri di wilayah Bantargebang, Kota Bekasi, melalui jalur prestasi.
Namun, karena perbedaan domisili antara KTP/Kartu Keluarga (Kabupaten Bekasi) dengan sekolah tujuan (Kota Bekasi), sistem secara otomatis menolak pendaftaran tersebut.
“Jadi, narasi yang dibuat seolah pemulung, orang miskin, kemudian Pemerintah Kota Bekasi menolak, salah kamar,” ujar Tri. Penolakan tersebut, tegasnya, murni disebabkan oleh aturan sistem zonasi, bukan karena faktor diskriminasi sosial ataupun ekonomi.
Intervensi Publik dan Solusi Akhir
Keviralan video KAPA bahkan sampai ke telinga tokoh publik sekaligus Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Tri Adhianto mengaku telah dihubungi langsung terkait persoalan ini.
“Dia mengaku telah dihubungi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi usai viralnya video tersebut,” tulis narasi yang beredar.
Setelah mendapat klarifikasi bahwa KAPA bukan warga Kota Bekasi, Dedi Mulyadi tetap meminta Tri untuk membantu mencarikan solusi bagi remaja tersebut.
Pada akhirnya, masalah pendidikan KAPA menemukan titik terang. Ia telah dipastikan diterima di sekolah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggalnya.
“Dia bisa masuk jalur zonasi di SMPN 2 Setu. Jadi yang bersangkutan sudah sesuai dengan jalurnya,” kata Tri.